Sementara studi kewarganegaraan sudah jamak dibelajarkan melalui kurikulum sekolah di mana-mana, studi kewargaduniaan belum terlalu dianggap penting dan belum dibelajarkan secara terencana. Malah kadang dipertentangkan di antara keduanya.

Beberapa minggu lalu tersiar sebuah pernyataan politik bahwa lebih baik melanggar hak asasi manusia (HAM) daripada negara hancur. Ini seperti menyatakan: kepentingan lebih umum boleh dikorbankan demi kepentingan lebih khusus.
Jika pola berpikir ini diteruskan, bukankah berarti negara boleh dikorbankan demi menjaga keutuhan keluarga? Kemudian, keluarga boleh dikorbankan demi keselamatan diri sendiri?

Tentu saja hubungan nasionalisme dengan universalisme seperti kemanusiaan tidak seremeh-temeh dan senaif dikotomi biner bak "buah simalakama". Yang lebih hakiki, bukankah sila kemanusiaan yang merupakan nilai global dan universal adalah unsur inti Pancasila dan jiwa kemerdekaan Republik?

Dengan dunia hari ini yang semakin nirbatas dengan kehidupan yang saling terhubung, setiap individu perlu menyadari serta peka atas keanggotaannya dalam keluarga, masyarakat lokal, suku, negara, sekaligus masyarakat dunia. Bahkan setiap individu harus sadar bahwa dirinya dan planet Bumi ini merupakan bagian dari Semesta.

Isu kewargaduniaan

Permasalahan di satu tempat merembet serta menulari tempat lain, dan kadang dampaknya lebih serius ketimbang di tempat asalnya. Akibatnya, permasalahan hari ini sulit diisolasi di satu lokasi atau negara tertentu saja. Seperti uang, permasalahan tak mengenal kewarganegaraan atau kebangsaan lagi.

Sebagai ilustrasi, Kerajaan Bhutan di Pegunungan Himalaya adalah negara kecil berpenduduk 800.000. Keadaan geografisnya unik, yakni landlocked atau terkunci sekeliling batas negaranya oleh daratan milik India dan China.

Lebih mencengangkan lagi, Bhutan merupakan satu-satunya negara di dunia yang berhasil mencapai carbon-negative. Artinya, alamnya sanggup menyedot karbon dioksida lebih banyak (bahkan sampai lebih dari tiga kali) dibandingkan dengan emisi yang dibuat sendiri.

Sementara di sisi lain, salah satu penghasilan utama Bhutan adalah energi listrik. Energi listrik ini dibangkitkan oleh aliran air sungai yang bersumber dari lelehan gletser di puncak-puncak Pegunungan Himalaya.

Namun, walau Bhutan berhasil mengelola alamnya secara signifikan, hari ini kenyataannya gletser terus meleleh semakin cepat, dampak dari pemanasan global.

Akibatnya, jeram air, bendungan, dan turbin listrik di sana semakin sulit dikendalikan. Keadaan tak menguntungkan ini mengancam masa depan Bhutan dengan masyarakat serta budayanya.

Yang sekarang telah disadari masyarakat dan Pemerintah Bhutan, bahwa meskipun mereka sudah berhasil merawat alam dan melestarikan lingkungannya sampai mencapai carbon-negative, toh perubahan iklim tetap menghantui negaranya.

Maka, tak mungkin Bhutan menyelesaikan permasalahan percepatan pelelehan gletser ini sendirian. Dibutuhkan kesadaran global bahwa masalah yang dihadapi Bhutan merupakan masalah setiap warga dunia. Tak ada solusi bertaraf nasional untuk menurunkan suhu bumi.

Perubahan iklim merupakan urusan semua orang. Ini alasannya: pendidikan di mana pun di dunia hari ini perlu membelajarkan kesadaran pelajar sebagai warga negara sekaligus warga dunia. Kewargaduniaan sama pentingnya dengan kewarganegaraan; kewargasemestaan sama pentingnya dengan kewargaduniaan.

Situasi perang dagang AS-China tahun lalu juga mirip. Seperti yang diungkap Chatib Basri di jurnal ASEANFocus, bahwa perang dagang di antara dua raksasa itu berdampak negatif pada perdagangan global, dan akan berdampak ke ASEAN serta Indonesia (Basri, 2019).

Kemudian, urusan limbah plastik yang mencemari lautan dan mengancam kehidupan biota laut juga tak beda. Walau China dan Indonesia merupakan produsen limbah plastik nomor satu dan dua, berturut-turut,  solusi permasalahan ini membutuhkan kolaborasi banyak negara.

Pendidikan

Sekitar 20 tahun lalu, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menggagas studi Programme for International Student Assessment (PISA) guna mengukur kesiapan pelajar—berusia 15 tahun di sejumlah negara—untuk dapat berfungsi efektif dalam kehidupan global di milenium baru.

Selain menggarisbawahi perlunya kecakapan berpikir tingkat tinggi dan kemampuan menerapkan sains dan teknologi pada permasalahan hari ini, PISA menegaskan perlunya kesadaran sebagai warga dunia.

Pendidikan dan media publik dapat berperan menggaungkan kesadaran kewargaduniaan tersebut. Yang paling sederhana dan dapat segera diwujudkan, pendidik mulai dengan mengajukan masalah, isu, konteks, serta bacaan yang tak terbatas dari negara sendiri.

Misalnya, pendidik dapat menyoroti data terkait kekurangan gizi di Afrika, hambatan pendidikan anak perempuan di Asia Selatan, dampak pembangunan jaringan infrastruktur di Asia Tengah, permasalahan limbah plastik di lautan Indonesia dan Pasifik, dan lainnya.

Dengan wacana dan diskusi mengetengahkan isu-isu dunia seperti itu, pelajar dapat membentangkan wawasan berpikirnya sekaligus menjadi lebih peduli, peka, dan berwawasan mendunia. Bersamaan dengan itu, diharapkan akan menguat pula pemahaman bahwa Bumi ini milik bersama dan perlu dijaga bersama.

Sementara di sisi lain, mencintai bangsa sendiri tidak identik dengan menggelorakan kebencian terhadap bangsa lain. Justru, loyal kepada bangsa sendiri haruslah beriringan dengan loyal pada kesemestaan nilai kemanusiaan.

Adapun template penggeloraan nasionalisme chauvinistic atau nasionalisme sempit, yakni mempertontonkan dukungan kepentingan dan superioritas negara sendiri secara berlebihan sambil tak memedulikan kepentingan negara lain, seperti "[nama negara] first" atau "make [nama negara] great again" sesungguhnya sekadar jargon populis.

Walau jargon ini sedang populer dan disalin di mana-mana, sebenarnya mustahil menyelesaikan permasalahan seperti masalah lingkungan hidup benar-benar sendirian.

Bahkan China atau Jepang pun tak berdaulat mutlak dalam urusan lingkungannya. Mereka juga butuh uluran tangan Rusia dan AS guna menghadapi ancaman banjir (Harari, 2018).

Sebaliknya, jika nasionalisme sempit tadi terus dikembangbiakkan, tidak hanya akan menghambat perwujudan perdamaian dunia, tetapi juga akan mempersempit opportunity atau kesempatan pemuda-pemudi Indonesia sendiri untuk mendunia dan berkiprah, berkarier menjelajah ke banyak negara.

Seperti permasalahan yang hari ini tak mengenal batas negara, demikian juga kesempatan tak mengenal batas negara lagi.

Pengangkatan wacana mendunia dan wawasan universal dalam ruang-ruang kelas juga akan mengantar sekolah menjadi "sarang dunia". Sebuah sarang wadah tiap insan, pada satu sisi, dapat memanggungkan pemikiran masyarakat lokalnya yang terbaik ke panggung masyarakat dunia.

Dan, pada sisi lainnya, tiap insan dapat mempelajari pemikiran masyarakat global yang pantas diteladani dan dilokalkan.

Demikianlah, nasionalisme beriringan bersama internasionalisme serta universalisme, untuk mekar dan dewasa bersama. Yang satu tak perlu mengalahkan yang lain.

Dengan semakin merebaknya politik tribalisme yang mengobarkan sentimen kebencian pada bangsa lain, semakin sering bermunculan pula narasi pengelompokan dan pengucilan biner "kami lawan mereka".

Oleh karena itu, langkah penyiapan diri pelajar sebagai warga dunia sudah sangat mendesak. Jika langkah itu dijalankan dan ditambah dengan penguasaan pengetahuan ilmiah, bangsa dapat semakin percaya diri dan sanggup berdiri sama tinggi bersama bangsa-bangsa lain.

Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh dijadikan lahan pembibitan kecurigaan serta kebencian terhadap bangsa lain. Sebaliknya, pendidikan justru harus mengejawantahkan semangat bergotong royong dengan bangsa lain.