Media, Pers, dan Jurnalisme
Sebelum teknologi digital bertumbuh pesat, media massa dikelompokkan menjadi media cetak (surat kabar dan majalah) dan media elektronik (radio dan televisi). Sekarang kedua kelompok itu disatukan menjadi media konvensional dilawankan dengan media digital (Tajuk Rencana Kompas, 9/2/2019).
Pengelompokan seperti itu tidak begitu tepat. Surat kabar dan majalah dapat disajikan di lembar kertas dan layar elektronik sebagai hasil pengembangan teknologi digital. Radio dan televisi adalah sarana pemberitaan melalui "kotak suara" dan "kotak suara plus gambar" untuk mata dan telinga. Sekarang muatan radio dan televisi bisa dinikmati melalui telepon cerdas. Kalau profesi kewartawanan hanya dikelompokkan berdasarkan teknik penyajian berita, pada suatu saat akan muncul pengelompokan baru lagi yang disesuaikan dengan perkembangan penemuan teknologi baru.
Justru jurnalisme yang lebih esensial lebih layak dikelompokkan dalam rangka memelihara kesatuan dan persatuan bangsa. Semangat dasar—universal dan ciri khusus tiap kelompok jurnalis dalam totalitas jurnalisme nasional—perlu diidentifikasi dan dirumuskan. Makna dasar dan awal dari media dan pers sebenarnya tak berkaitan langsung walau tak dapat dipisahkan dengan esensi kewartawanan. Media berarti 'alat' atau 'sarana'. Kata ini umum, bukan hanya terkait jurnalisme.
Begitu pula pers berasal dari kata Inggris, press, yang berati 'menekan, mendesak'. Karena itu, judul berita "Media Arus Utama, Rumah Penjernih Informasi" (Kompas, 20/2/2019) lebih tepat diganti dengan "Jurnalisme Arus Utama, Rumah Penjernih Informasi". Begitu pula pada saatnya UU No 40/1999 tentang Pers sebaiknya diganti dengan UU tentang Jurnalisme. Hari Pers Nasional menjadi Hari Wartawan Nasional.
Wim K Liyono
Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Tionghoa: Padang dan Medan
Saya tak tahu apakah penanganan masalah hubungan antaretnis merupakan salah satu indeks mengukur keberhasilan seorang kepala daerah. Yang jelas, saya merasa sejuk dan nyaman ketika membaca buku karangan Riniwaty Makmur, Orang Padang Tionghoa, yang merupakan disertasinya di Universitas Padjadjaran, Bandung. Buku itu telah diulas di Kompas (5/1/2019).
Di sana Riniwaty menceritakan keharmonisan dan kelanggengan hubungan masyarakat Tionghoa dengan penduduk lokal. Di ma bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang. Riniwaty berharap bukunya dapat memberikan pemahaman hal-hal positif perihal orang Tionghoa. "Pemahaman itu penting dalam rangka mendukung perjalanan bangsa Indonesia menuju masyarakat multikultural…."
Pada kulit luar buku dicantumkan pesan seorang Padang Tionghoa, Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden RI, lahir di Sawahlunto, Ia mengatakan, buku ini dapat "membangun pemahaman yang konstruktif mengenai orang Tionghoa…."
Untuk ilustrasi, Kompas pun tak jauh dari orang Padang Tionghoa karena PK Ojong, pendiri Kompas, adalah kelahiran Bukit Tinggi.
Sebagai orang yang berasal dari daerah Medan, saya sedih karena orang Medan Tionghoa sangat berbeda dengan orang Padang Tionghoa. Dari dulu hubungan multikultural di Sumatera Utara (Sumut) tidak manis meski—alhamdulillah— aman-aman saja. Seperti ada segregasi. Tidak berbaur.
Orang Medan rindu, kapan, misalnya, komunitas Tionghoa dan non-Tionghoa bisa bercengkerama bersama, berpartisipasi dan berkumpul dengan memakai bahasa Indonesia.
Perbedaan etnisitas Tionghoa dan lokal dikhawatirkan bisa menjadi hambatan sosial sebab dari sudut pendidikan, sebagai contoh, kesempatan tampak lebih banyak bagi masyarakat Tionghoa.
Sebagaimana yang ditulis Effendi Setiawan dalam bukunya, Tionghoa Medan, 2018: "Di Medan, ketika kemampuan akademis anak- anak muda Tionghoa lulusan luar negeri dipadukan dengan bakat dagang dan melobi plus modal yang diwariskan orangtua mereka, apa yang tersisa bagi komunitas lain yang belum siap?"
Setelah menyimak buku Riniwaty, kiranya keadaan antaretnis di Sumut, khususnya Medan, dapat diperbaiki Bapak Edy Rahmayadi, yang kini memfokuskan diri sebagai Gubernur Sumut.
A Zen Umar Purba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar