Harian Kompas, 8 Februari 2019 (hlm 19), melaporkan kasus Ibu Elawati (48) yang meninggal karena menggantung diri. Diduga hal itu dilakukan akibat frustrasi karena ibu mertua, suami, dan anak-anaknya semua didera sakit serius. Ekonomi keluarga yang amat terbatas pun menjadikan keadaan makin sulit. Tanpa dukungan dari siapa pun, ia harus sendirian merawat semua anggota keluarganya.
Kasus-kasus yang ditemui dalam konseling dan pendampingan pada korban kekerasan juga cukup sering mengungkapkan tema percobaan bunuh diri. Persoalannya belum tentu terkait faktor ekonomi, tetapi selalu terkait dengan penderitaan psikis yang dirasa tak tertanggungkan.
Susan Rose Blauner (2001) menulis How I Stayed Alive When My Brain Was Trying to Kill Me. Berulang mencoba bunuh diri, ia menulis bagi pembaca yang mengalami keputusasaan untuk mencegah tindakan fatal membunuh atau menyakiti diri. Tulisan dilengkapi tugas-tugas sederhana sehingga buku ini menjadi bacaan "self-help" yang sangat bermanfaat.
Mengakhiri penderitaan
Susan mengakui, ia memiliki persoalan pengendalian emosi. Ia didiagnosis mengalami gangguan kepribadian borderline, yang dekat dengan gangguan depresi. Ada ketidakstabilan suasana hati atau mood, kekacauan hubungan personal, kemarahan-kemarahan yang tidak terkendali, dan perilaku melukai diri.
Perjalanan hidupnya memang tidak mudah. Selama bertahun-tahun di masa kecil, ia mengalami eksploitasi seksual dari anggota keluarganya sendiri. Ia lahir dari keluarga terpandang, ayahnya seorang dokter. Akan tetapi, ada berbagai trauma, termasuk kehilangan ibu dan nenek di masa remaja, serta persaingan antarsaudara yang sudah tampil dalam bentuk kekerasan. Sang ayah, yang tidak mampu mengelola dukanya, hadir menjadi sosok yang pemarah dan menakutkan.
Susan berulang mencoba bunuh diri dengan menenggak obat-obatan. Setelah insiden terakhir dan dirawat di ICU, ia dipindahkan ke unit psikiatri. Di sini, ia bertemu perempuan muda yang karena menggantung diri akhirnya mengalami kerusakan otak. Ia juga ingat tentang seorang lelaki yang menembak rahangnya sendiri, tetapi tidak mati. Tindakan itu menyebabkan wajah dan isi mulutnya hancur.
Orang mungkin berfantasi romantis mengenai bunuh diri, tetapi kenyataannya sama sekali tidak demikian. Ia baru sungguh menyadari bahwa sebenarnya ia tidak ingin mati, hanya ingin lepas dari penderitaan batin yang terasa tak tertanggungkan. Ternyata yang dilakukan bukan membebaskan, melainkan malah menambah persoalan.
Menolong diri
Susan membedakan suicide gesture dengan suicide attempt. Menurut dia, yang dilakukannya lebih gesture, bentuk komunikasi kepada orang lain bahwa ia sangat membutuhkan pertolongan.
Apabila ia putus asa, lalu mencoba bunuh diri, dan obat-obat overdosis sudah berefek ke fisiknya, ia ketakutan dan akan menelepon orang lain untuk meminta pertolongan. Bagaimanapun, gesture ataupun attempt harus ditanggapi secara serius oleh diri sendiri ataupun orang lain karena dapat berakibat fatal.
"Ingin bunuh diri" itu bukan perasaan. Kesadaran baru untuk menolong diri sendiri membuatnya berlatih untuk mengubah bahasa. Daripada mengatakan "ingin bunuh diri", ia menggunakan berbagai istilah tentang perasaan (marah, sedih, takut, frustrasi, kesepian) untuk membuat diri lebih jelas.
Ketika muncul pikiran bunuh diri, yang disampaikan pada diri sendiri, "Aku berpikir tentang bunuh diri, sebenarnya aku merasa ….." Ia mengingatkan diri, krisis yang dialami sementara sifatnya. Perasaan akan berubah, akan ada pemecahan masalah, juga situasi yang lebih positif.
Kita juga perlu lebih peka pada situasi diri. Salah satunya dengan mengambil jeda untuk mengecek pernapasan. Apakah pendek-pendek dan cepat? Apabila demikian, biasanya itu karena rasa takut, ketegangan, atau rasa marah.
Pastikan agar napas berjalan perlahan dan dalam, untuk menghadirkan kondisi rileks dan damai. Kondisi demikian lebih memudahkan untuk berpikir tenang.
Otak mungkin mencoba membunuh dengan suara-suara negatif: "Kamu pikir kamu punya teman? Kamu tidak punya siapa-siapa, jadi lebih baik kamu akhiri saja hidupmu!" Susan melawan, dengan menjawab misalnya, "Hei, aku ingin hidup, jangan ganggu aku!"
Ketika otak menyuruhnya untuk diam, ia justru memutuskan untuk bercerita agar memperoleh pertolongan. Pada awalnya, meminta pertolongan itu mungkin sangat sulit karena otak mengatakan tidak ada yang peduli dan dapat membantu. Ini makin membuat individu takut akan respons negatif atau penolakan dari orang lain. Padahal, bersedia meminta tolong itu justru tanda kita lebih kuat dan jujur.
Hal penting adalah menuliskan Rencana Penanganan Krisis, membawanya setiap saat, dan menaruhnya di tempat-tempat yang mudah dibaca.
Secara ringkas (a) ketika saya merasa (marah, tak berdaya, kesepian); (b) ingat bahwa (perasaan dan fakta itu berbeda; perasaan akan berlalu; meski perasaan negatif, tetap beraktivitas positif); (c) lakukan (mengambil napas panjang, mengidentifikasi apa sesungguhnya yang dirasakan, menghubungi orang lain untuk bercerita, menjauhkan diri dari alat yang dapat digunakan untuk melukai diri).
Ketika pikiran bunuh diri muncul, berbagai aktivitas dapat dilakukan untuk menginterupsi. Misalnya, mandi air hangat, berjalan-jalan, membereskan kamar, atau melakukan hal-hal positif bagi orang lain.
Susan mengingatkan, apabila kita merasa kesepian, tak berdaya, atau membutuhkan bantuan, perasaan itu hilang ketika kita mencoba melakukan yang kita butuhkan bagi orang lain.
Perjuangan melawan (suara negatif) dan menolong diri sendiri memerlukan orang lain yang nyata menunjukkan kepedulian dan bersedia membantu. Pada Susan, itu adalah terapisnya. Pada yang lain, dapat tampil dalam sosok berbeda-beda: sahabat, guru, saudara, pasangan hidup, tetangga, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar