Pembentukan Pemerintahan Transisi Bangsamoro merupakan keberhasilan Presiden Rodrigo Duterte dalam upaya menyele- saikan konflik di Filipina selatan.
Upaya Duterte mengurangi konflik di Mindanao mirip dengan upaya penyelesaian konflik Aceh, ketika Provinsi Aceh mendapat otonomi khusus dan berubah nama menjadi Nangroe Aceh Darussalam. Mulai tahun 2006, semua anggota dan elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memperoleh hak-hak sipil seperti warga negara biasa di seluruh Indonesia.
Gejolak di Mindanao sudah berlangsung puluhan tahun, bahkan para pejuang Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang tinggal di Filipina selatan itu pernah terlibat dalam banyak aksi kekerasan. Jumat lalu, Presiden Duterte melantik Pemimpin MILF Murad Ebrahim sebagai Menteri Besar Pemerintahan Transisi Bangsamoro (BTA), yang akan mengelola lima provinsi di Mindanao.
Pelantikan itu sebagai bagian dari kesepakatan damai Pemerintah Manila dan MILF, serta pembentukan pemerintahan transisi merupakan bagian dari pelaksanaan referendum pada Januari 2019. "Kami melihat tantangan tidak kecil yang akan kita hadapi ke depan. Bagi kami, perjuangan masih belum selesai. Kita sekarang berada pada level perjuangan yang berbeda," ujar Murad yang sudah berusia 70 tahun ini.
Namun, tidak berarti upaya damai berjalan mulus. Seminggu setelah referendum untuk menentukan wilayah otonomi Muslim, dua bom meledak di Gereja Katedral Bunda Maria di Jolo, Filipina. Kedua ledakan itu menyebabkan sedikitnya 20 orang meninggal dan puluhan orang luka-luka.
Jolo dikenal sebagai benteng pertahanan gerilyawan Abu Sayyaf, dan berbaiat kepada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Gerilyawan ini dituding sering terlibat dalam pembajakan dan penculikan.
Dengan otonomi yang diperluas ini, Daerah Otonomi Bangsamoro akan menggelar pemilihan sendiri pada tahun 2022 untuk memilih parlemen dan menteri utama. Pemerintah pusat di Manila masih akan mengawasi masalah kepolisian dan keamanan.
Mayoritas penduduk Filipina beragama Katolik, tetapi di Mindanao populasi Muslim cukup besar. Dalam beberapa dekade, sejumlah kelompok pemberontak menuntut hak otonomi. Akibat kekerasan ini, Mindanao menjadi salah satu daerah termiskin di Filipina.
Tak mudah mengakhiri kekerasan di Mindanao mengingat tidak semua kelompok mau diajak damai. Dua faksi besar, MILF dan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), kini diakomodasi dalam pemerintahan transisi. Namun, Abu Sayyaf yang dekat dengan NIIS belum bersedia bergabung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar