"Matakulah sebetulnya yang gagal melihat perubahan yang tidak ingin kulihat, yang terus kucari dengan sia-sia, seperti parit-parit antara Batubulan-Mas dimana kami dulu suka membasuh kaki."
Kutipan di atas saya ambil dari cerpen saya berjudul "Antara Batubulan-Mas…", di mana di bawahnya tertulis kapan karya itu saya buat: April 2001. Sekitar 18 tahun lalu. Membuka kembali buku berjudul Sarabande di mana terdapat cerpen tadi, saya mencoba mengais- ngais ingatan mengenai suasana waktu itu.
Mengapa saya di Bali pada April 2001—mungkinkah karena dia berulang tahun? Atau ada hal lain? Ah, pada waktu itu pun agaknya saya mulai merasa kehilangan, ketika Batubulan, Mas, Ubud, dan sekitarnya banyak berubah. Persawahan berubah menjadi bangunan, tiada lagi jalanan sepi pada keheningan senja seperti masa sebelumnya, dengan serangga-serangga kecil yang mengganggu mata ketika saya melintas dengan mengendarai sepeda motor.
Keadaan jauh berbeda lagi kini. Minggu lalu, saya melewati daerah itu dalam perjalanan dari Ubud ke Seminyak. Menumpang mobil yang saya pesan daring, sejak naik saya sudah ikut terteror mendengar cerita sopir bagaimana dia harus melewati banjar-banjar yang melarang operasi angkutan daring. Jalanan macet luar biasa. Jarak sekitar 30 kilometer antara Ubud dan Seminyak memerlukan waktu tempuh lebih dari dua jam.
"Keadaan makin sulit, tetapi buat apa mengeluh. Kita perlu kerja lebih keras," kata si sopir, pemuda berusia 30-an yang gemar bercerita. Percakapan membuat waktu perjalanan tidak terasa. Saya menikmati cerita dan omongannya.
Dari penampilannya, bisa terbaca bahwa dia tertempa oleh kehidupan keras. Bukan anak mami. Ia mengaku berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Yang ia jadikan pegangan sekarang adalah kerja keras dan kejujuran.
"Umur 17 tahun, saya sudah menangis di Amerika Selatan dan Afrika Selatan," katanya.
Ia berasal dari keluarga petani kurang mampu. SMP dan SMA di Temanggung bisa dia jalani karena beasiswa. Lulus SMA ia pernah merantau ke Tangerang. Atas tantangan lingkungannya—katanya kalau mau jadi jagoan jangan di darat, tapi di laut—ia pun ikut kapal.
Mulailah petualangannya menginjak beberapa negara di Amerika Selatan, Afrika Selatan, sebelum kemudian terdampar di Korea Selatan. Katanya waktu itu ia kabur dari kapal, masuk Korea Selatan tanpa dokumen selayaknya.
Korea Selatan ini yang tampaknya mengubah hidupnya. Ia tinggal di negeri itu selama 12 tahun. Berbagai pekerjaan dia jalani, mulai dari pemungut sampah sampai kerja di beberapa perusahaan ternama. Bercita-cita meningkatkan taraf hidup, ia bahkan pernah sekolah di Korea. Banyak kemudahan ia dapatkan.
Dalam omongannya, dia cenderung membandingkan apa saja dengan Korea. Selain menjadi sopir, kini ia juga menjadi pemandu turis-turis Korea. Semua yang terbaik yang saya dengar darinya adalah Korea. Dari sistem sosial sampai ateismenya ia puja-puja. Dalam hati saya menjuluki dia "Kimchi Boy".
Mengapa pulang ke Indonesia? Untuk jawabannya atas pertanyaan ini, mohon para pendukung capres tidak menanggapi berlebihan. Waktu itu iabernazar, kalau Jokowi jadi presiden dia akan kembali ke Indonesia. Maka pulanglah dia ke Indonesia tahun 2014, beberapa bulan sebelum pelantikan Jokowi.
Bagaimana dengan kemungkinan tahun 2019, saya mendesaknya. Ia menjawab, di antara kelompok-kelompok pendukung capres, terdapat kelompok yang ia sebut sebagai "orang-orang pekok". Saya tak bisa menahan tawa. Dalam bahasa Jawa, pekok melebihi goblok.
"Di Indonesia tidak ada seleksi alam, orang pekok bisa bertahan hidup. Itu tidak mungkin di Korea," ujarnya. "Sayangnya di Korea susah bagi anak muda bisa punya rumah sendiri. Dengan kerja keras sekali pun sulit orang bisa meningkatkan taraf hidup, apalagi membalas budi kepada orangtua. Di sini, asal mau kerja keras, hidup kita tambah baik."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar