Anda dan saya pasti tahu bahwa dalam diri kita, ada dua hal yang ekstrem. Sesuatu yang positif dan sesuatu yang negatif. Nah, pertanyaannya adalah dari dua hal ekstrem itu, yang mana yang lebih sering Anda gunakan sebagai senjata untuk bertahan hidup sampai sekarang ini?

Negatif

Maksud saya, sampai Anda membaca tulisan ini, atau sampai Anda menjadi seperti sekarang ini, apakah Anda menggunakan senjata yang lebih banyak positifnya, negatif, atau keduanya? Kalau keduanya, apakah bobotnya sama, atau ada yang salah satunya lebih sering Anda gunakan?

Contohnya seperti hidup saya. Selama 56 tahun hidup di dunia ini, saya lebih banyak menggunakan kenegatifan sebagai senjata untuk bertahan hidup. Saya melihat hidup lebih banyak dari sisi negatif, daripada yang positif. Itu mengapa saya mampu dengan pasti memberi predikat bahwa saya seorang pesimis.

Anda bisa melihat itu dari tulisan-tulisan saya selama sekian belas tahun. Itu mengapa saya sering mengatakan bahwa hidup itu tidak adil. Senjata negatif yang saya gunakan itu melahirkan rasa kesal yang sangat, kemudian berakhir dengan rasa frustrasi yang sangat. Namun, susahnya setengah mati untuk diubah.

Negatif itu begini. Katakan hidup itu tidak adil. Anda tinggi dan tampan, saya tidak. Orang seperti saya, tidak mampu melihat bahwa tidak semua yang tinggi dan tampan itu mampu memesona banyak orang. Ada teman saya yang senangnya sama yang pendek dan yang biasa saja.

Jadi, setiap manusia itu punya selera berbeda. Artinya, meski saya ini tidak tampan, sejujurnya saya tetap memiliki kesempatan yang sama dengan si tampan untuk ditaksir. Karena, sekali lagi, tak semua orang suka yang tampan dan tinggi seperti teman saya itu.

Orang pesimis yang senangnya menggunakan senjata kenegatifan dalam bertahan hidup seperti saya ini susah sekali melihat adanya kesempatan yang sama itu. Saya sudah menghakimi bahwa yang tidak tampan dan tidak tinggi itu tidak akan laku atau tidak akan memiliki kemampuan untuk memesona orang.

Tetap negatif

Meski pada kenyataannya cara saya berpikir itu keliru, saya tetap merasa hidup itu tidak adil. Karena buat saya, tidak adil itu adalah Anda tampan dan saya tidak. Orang seperti saya akan berpikir bahwa yang namanya adil itu adalah "sana tampan, ya… sini mesti tampan juga."

Karena senjata negatif yang saya pilih untuk hidup selama ini, dalam beberapa aspek kehidupan saya susah menjalani dengan hati legawa. Beberapa kasus di bawah ini menjadi contohnya.

Kenegatifan yang menguasai cara berpikir saya telah membuat saya kesusahan memercayai orang lain. Itu mengapa saya takut memiliki hubungan asmara. Ketakutan itu karena saya melihat kehidupan asmara dari kacamata yang negatif.

Bahwa setelah saya menjalani hubungan sekian tahun dengan baik, nanti pasti akan terjadi sesuatu yang menyakitkan karena saya berpikir manusia itu pada dasarnya berubah. Saya tak mampu memercayai bahwa pasangan saya benar-benar akan setia sampai mati. Dan dengan senjata negatif itu saya lupa kalau yang berubah itu bukan hanya pasangan saya, tetapi saya juga memiliki kesempatan yang sama.

Belum lagi dalam hidup sehari-hari saya melihat banyak cerita mengenai bencana dalam sebuah hubungan asmara. Orang seperti saya yang menggunakan senjata kenegatifan, akan menyerap kejadian atau cerita negatif lebih banyak ketimbang cerita kebahagiaan setelah perceraian, misalnya. Saya sampai tak bisa berpikir bahwa perjalanan asmara setiap manusia itu berbeda-beda.

Senjata negatif yang saya gunakan membuat saya selalu memiliki prasangka buruk atas seseorang atau atas sebuah kejadian bahkan jauh sebelum semuanya itu terjadi.

Kalau saya bepergian untuk berlibur, sejujurnya itu mendatangkan tekanan batin. Karena dalam pengalaman hidup yang telah saya lalui, selalu akan ada saja problem yang akan terjadi setelah berlibur.

Kalau saya bepergian ke luar negeri, sebelum pesawat tiba di tempat tujuan, saya sudah berpikir bahwa saya akan mengalami pemeriksaan atau hal yang mempersulit saya di bandara. Maka setiap kali saya bepergian ke luar negeri dengan teman-teman, koper saya yang selalu diminta petugas untuk dibuka.

Saya pernah mencoba untuk mengganti senjata, alhasil saya malah jadi keder. Karena ketika saya berpikir positif dan ternyata hasilnya tidak seperti kepositifan perilaku saya, itu sungguh menakutkan. Dari situlah saya tahu bahwa saya bisa sepositif apa pun dalam cara berpikir, tetapi itu tak menjamin kalau hal negatif tak dapat lahir dari sebuah kepositifan.

Kalau saya menggunakan senjata negatif dan hasilnya negatif saya enggak masalah karena sudah saya prediksi negatif sejak awal. Kalau hasilnya malah jadi positif, saya bahagia. Maka, satu-satunya alasan mengapa saya memilih senjata kenegatifan itu hanya untuk memproteksi diri dari kekecewaan.


Kompas, 17 Februari 2019