Jika tekanan pada jalur finansial relatif kendur, tekanan jalur perdagangan justru meningkat. Pada Januari 2019, neraca perdagangan defisit cukup besar, yakni 1,16 miliar dolar AS. Tekanan jalur perdagangan yang meningkat sejak pertengahan 2018 masih berlanjut tahun ini. Badan Pusat Statistik mencatat, defisit neraca perdagangan 2018 sebesar 8,57 miliar dolar, merupakan kinerja terburuk sejak 1975. Neraca perdagangan tertekan defisit migas serta lonjakan impor bahan baku dan penolong tiga tahun terakhir.
Dalam ekonomi, sebuah kekuatan pada saat yang sama bisa (sering) menjadi kelemahan. Salah satu kekuatan kita menghadapi pelambatan pertumbuhan ekonomi global adalah peran konsumsi domestik yang proporsinya sekitar 55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, karena banyak bahan konsumsi yang tak dapat diproduksi di dalam negeri, impor meningkat, khususnya pangan dan energi. Demikian pula dengan investasi dan pembangunan infrastruktur yang sangat intensif tiga tahun terakhir. Situasi ini menunjukkan urgensi membenahi rantai pasok industri domestik secara menyeluruh.
Transformasi struktural
Dalam jangka pendek, mitigasi paling mudah adalah menurunkan impor melalui kebijakan, seperti penerapan bea masuk 1.147 produk impor dan menunda proyek infrastruktur strategis dengan kandungan impor tinggi. Namun, kebijakan itu punya efek negatif, yaitu pelambatan pertumbuhan ekonomi. Perlu transformasi struktural yang berorientasi meningkatkan daya saing perekonomian di semua lini.
Pada 2018, neraca jasa defisit 7,1 miliar dollar AS, sementara neraca pendapatan primer defisit 30,4 miliar dollar AS. Menurut BI, defisit transaksi berjalan 2018 mencapai 31,1 miliar dollar AS atau 2,98 persen PDB.
Defisit transaksi berjalan menunjukkan masih tergantung pada sumber daya eksternal dalam menggerakkan perekonomian domestik. Pasokan eksternal masih diperlukan, bukan saja barang, melainkan juga jasa dan modal. Bagaimana bisa keluar dari jebakan eksternal?
Semua transaksi dengan pihak eksternal terangkum dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang pada 2018 defisit 7,1 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan, pada 2016, NPI surplus 12 miliar dollar AS, dan pada 2017 surplus 11,5 miliar dollar AS. Pada 2019, suku bunga diperkirakan tak akan (banyak) naik, tetapi perang dagang masih berlanjut. Untuk mengantisipasi tekanan eksternal yang masih berat dan tak pasti ini, ada empat jalan keluar dari jebakan eksternal.
Pertama, restrukturisasi industri domestik berbasis ekspor. Pada 2016, ekspor nonmigas dalam kategori barang dagangan umum senilai 130 miliar dollar AS dan pada 2018 menjadi 161 miliar dollar AS. Sementara impor nonmigas naik dalam proporsi yang relatif sama, dari 110,6 miliar dollar AS menjadi 149,9 miliar dollar AS. Kendati neraca perdagangan nonmigas masih surplus, perlu upaya lebih keras agar lebih pesat melalui penataan industri nonmigas berorientasi ekspor secara masif.
Kedua, membangun industri penghasil bahan baku dan penolong di dalam negeri. Neraca perdagangan kategori barang dagangan umum masih surplus meski kecil. Namun, pada kategori barang lain, kita terpuruk. Pada 2016, impor kategori barang lain 792 juta dollar AS, tetapi pada 2018 menjadi 2 miliar dollar AS. Salah satu penjelasannya, tiga tahun terakhir, kita mengimpor bahan baku untuk infrastruktur.
Membangun industri penghasil bahan baku adalah salah satu kunci agar kita tumbuh lebih tinggi. Insentif fiskal diperlukan agar investor domestik dan asing mau masuk ke industri menengah. Industri menengah perlu modal besar, keahlian, dan teknologi tinggi, serta rantai pasok global kuat.
Ketiga, restrukturisasi neraca migas. Kendati ekspor migas terus naik, kenaikan impor jauh lebih besar. Pada 2016, ekspor migas RI 12,9 miliar dollar AS, sedangkan impor 17,6 miliar dollar AS. Pada 2018, ekspor menjadi 17,6 miliar dollar AS, sedangkan impor menjadi 29,2 miliar dollar AS. Meningkatkan komponen lokal melalui kebijakan B20 yang dinaikkan menjadi B90 pada beberapa tahun mendatang merupakan langkah strategis yang baik. Namun, ada langkah lain yang bisa dilakukan, yaitu mengakuisisi perusahaan minyak di luar negeri sehingga bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui impor yang secara akuntansi akan tercatat sebagai penerimaan pemerintah.
Keempat, percepat restrukturisasi sektor pariwisata. Neraca penerimaan jasa personal, kultural, dan rekreasi terus meningkat signifikan. Jika pada 2016 surplus 36 juta dollar AS, pada 2018 surplus menjadi 278 juta dollar AS.
Penopang utamanya, penerimaan devisa wisatawan asing yang pada 2018 sekitar 15 juta orang, naik dari 12 juta orang pada 2016.
Strategi peningkatan wisatawan asing harus dilakukan secara menyeluruh melalui perbaikan sistem logistik, konektivitas, dan akses informasi. Membenahi sektor pariwisata menjadi indikator transformasi struktural yang berorientasi pada peningkatan daya saing.
Keempat, upaya untuk keluar dari jebakan eksternal itu harus menjadi fokus pemerintah mendatang, siapa pun presidennya. Kini saatnya menumbuhkan kesadaran internal melakukan transformasi struktural secara sistematis dan berkesinambungan. Kesempatan masih tersedia dan peluang perbaikan masih terbuka. Namun, semua itu harus dikerjakan dengan kerja nyata, tak cukup hanya dengan retorika.
A PRASETYANTOKO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar