Sejumlah organisasi lintas agama di dalam negeri dan para pemimpin negara telah menyatakan simpati mereka serta kecaman terhadap pelaku. Pernyataan menarik muncul dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang menyebut kejadian ini sebagai contoh meningkatnya rasisme dan islamofobia akhir-akhir ini.

Pernyataan tersebut bisa memunculkan perdebatan apakah yang dilakukan oleh Brenton Tarrant adalah tindakan balas dendam yang dilatarbelakangi kemarahan dan ketakutan warga kulit putih terhadap imigran Muslim ataukah bagian dari aksi terorisme yang terorganisasi.

Pergeseran karakteristik

Mengacu pada Undang-Undang (UU) Terorisme di Indonesia No 5 Tahun 2018, terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa terorisme bukanlah barang baru meskipun ia telah mengalami pergeseran karakteristik dan pola aksi. Bruce Hoffman (2006) menuliskan pergeseran karakteristik terorisme global mulai dari Revolusi Perancis hingga serangan Al Qaeda di Amerika Serikat pada 2001.

Sejarah menunjukkan, aksi teror dalam bentuk pembunuhan massal dilakukan oleh Robespierre dengan "pemerintahan teror"-nya sesaat setelah Revolusi Perancis. Tujuannya adalah untuk mempertahankan keberlangsungan pemerintahan yang baru saja berkuasa setelah menggulingkan rezim sebelumnya yang dianggap diktator.

Aksi teror serupa, tetapi dengan pola terbalik, ditiru oleh kelompok revolusioner Narodnaya Volya di Rusia yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Tsar Alexander II yang otoriter. Pergeseran kembali terjadi setelah Perang Dunia I. Aksi teror dilakukan pemerintah fasis di Italia, Nazi di Jerman, dan Stalin di Rusia untuk mengintimidasi warga Yahudi yang dianggap mengancam dan mengotori negara mereka.

Pasca-Perang Dunia II, aksi teror dalam bentuk perang gerilya menjadi pilihan kelompok-kelompok nasionalis di Asia dan Afrika ketika berhadapan dengan pemerintah kolonial. Tujuannya adalah memperjuangkan kemerdekaan dan hak untuk menentukan nasib bangsanya sendiri.

Terorisme atas nama agama

Era Perang Dingin kembali menggeser karakteristik terorisme. Aksi teror digunakan oleh kelompok separatis untuk menarik perhatian internasional dalam upaya memisahkan diri dari negara induk yang dianggap tidak memperhatikan kesejahteraan mereka.

Serangan Al Qaeda pada 2001 mengubah karakteristik terorisme dengan menempatkan agama sebagai alat untuk menjustifikasi aksi teror ketika melawan ketidakadilan global yang menurut mereka diciptakan negara Barat. Meski demikian, menurut Hoffman (2006), tujuannya tetap politik.

Dari situ, Al Qaeda dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) hingga hari ini dianggap sebagai kelompok teroris yang menggunakan basis agama Islam dalam aksinya sehingga menimbulkan islamofobia di berbagai negara. Namun, bukan berarti tidak ada kelompok teror yang menggunakan agama lainnya sebagai basis pergerakannya (Damayanti, 2019)

Di Myanmar, ada aksi teror yang dipimpin oleh Rahib Ashin Wirathu, yang membunuh ratusan warga Rohingya dan warga Muslim di Arakhan, Rakhine Utara. Di Thailand, ada kelompok Buddha Tahanpra yang membunuh ribuan warga Muslim di Thailand Selatan.

Di Kongo ada kelompok Lord's Resistance Army (LRA) yang menggunakan agama Kristen sebagai pembenaran untuk melakukan aksi terornya. Di India, ada kelompok Kristen National Liberation Front of Tripura (NLFT) yang membunuh lebih dari 600 umat Hindu, dan kelompok radikal Hindu Sangth Parivar & Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) yang membantai umat Kristen serta umat Islam di Gujarat.

Fenomena yang terjadi di Selandia Baru kembali merusak apa yang telah dan tengah dibangun oleh umat beragama di seluruh dunia dan di Indonesia, yaitu persaudaraan yang mengatasi segala perbedaan bangsa, budaya, ide dan agama, sebagaimana telah disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam pesan Natal tahun 2018. Peristiwa penembakan ini merupakan perlawanan terhadap upaya bersama untuk membangun hubungan harmonis khususnya antara negara Barat dan negara penduduk mayoritas Muslim.

Dampaknya bagi Indonesia

Mengikuti pemberitaan, apa yang dilakukan oleh Tarrant memberi kesan kuat bahwa aksi terornya didorong oleh motif mengagungkan identitasnya sebagai warga kulit putih dan telah direncanakan sebelumnya.

Ada dua asumsi mengapa ia melakukan aksi white supremacy terrorism-nya. Pertama, bisa jadi karena ia merasa terancam oleh kebijakan di sejumlah negara Barat, termasuk Selandia Baru, yang mengizinkan imigran Muslim masuk, menetap dan bekerja di sana. Kedua, ia melakukan itu sebagai tindakan glorifikasi terhadap warga kulit putih, sebagaimana yang tertulis dalam manifestonya.

Sayangnya, kekecewaan dan kemarahannya tidak diarahkan kepada sasaran yang tepat. Sehingga serangan yang dilakukan kepada warga sipil yang beragama Islam malah memicu kemarahan umat Islam. Sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam, wajar jika umat Islam Indonesia sangat menyayangkan dan mengecam keras tindakan sadis itu.

Menyikapi hal ini, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern telah menunjukkan sikap kenegarawanannya yang secara tegas membela warga negaranya, apa pun agama dan asal etnisnya, yang terancam akibat sikap radikal dan aksi teror dari kelompok supremasi kulit putih yang berasal dari negara lain.

Berkaca dari situ, kita patut memberikan apresiasi terhadap Pemerintah Indonesia yang juga telah bertindak tegas melawan sikap radikal dan aksi teror yang muncul dengan melibatkan isu dan kedok agama. Untuk mendukung hal ini, diperlukan tokoh-tokoh agama yang berperan kian aktif membangun jembatan sikap dan kesediaan saling memahami dan menghargai, bukan tembok kecurigaan dan ketakutan.

Masyarakat Indonesia juga diharapkan untuk tidak terpancing dan terprovokasi, apalagi menjadikan isu ini sebagai alasan untuk melakukan tindakan kekerasan di dalam negeri di antara kelompok yang berbeda suku, agama, dan ras.