Jauh sebelum isu tuan tanah dan penguasaan lahan dalam skala raksasa diungkap dalam debat putaran kedua calon presiden dan wakil presiden, isu ini sebetulnya sudah sering dikaji dan diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan dinilai sebagai salah satu sumber penyebab munculnya polarisasi antarkelas yang masih saja terjadi hingga detik ini.
Berbeda dengan kemiskinan alamiah yang terjadi karena terbatas atau tidak adanya sumber daya yang bisa dibagi, kemiskinan yang sifatnya struktural terjadi akibat sumber daya yang ada sengaja tidak dibagi. Kemiskinan struktural ini biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat polarisasi yang tajam dalam kepemilikan dan penguasaan aset-aset produksi.
Marjinalisasi
Masyarakat dari golongan miskin dan tidak memiliki lahan atau sumber produksi yang lain sering dalam praktik tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki taraf kehidupannya karena keterbatasan kemampuan mencari peluang untuk mobilitas vertikal. Sementara sebagian kecil warga masyarakat yang menguasai aset produksi dalam skala yang berlimpah, dan kaya raya, biasanya lebih berpeluang untuk memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama sebagian kecil warga masyarakat yang lebih mampu menikmati kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki, maka sepanjang itu pula akan terjadi apa yang disebut dengan istilah kemiskinan struktural.
Di berbagai komunitas, golongan masyarakat yang acap kali papa dan tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk memperoleh margin keuntungan atas apa yang mereka hasilkan, sebagian besar umumnya adalah para petani yang tidak memiliki tanah sendiri. Atau para petani yang tanah miliknya kecil sehingga hasilnya tidak mencukupi untuk memberikan makan dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh nelayan, buruh industri kecil, kuli bangunan, pekerja di sektor informal, dan lain-lain yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled laborers).
Sebuah keluarga miskin yang hanya mengandalkan tenaga atau kemampuan fisiknya tentu kesempatan mereka untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan taraf kesejahteraannya sangatlah kecil. Hal ini bertolak belakang dengan peluang yang dimiliki sekelompok kecil elite yang memiliki aset produksi, bahkan jejaring sosial-ekonomi yang luas. Justru dengan aset berlimpah yang dimiliki, para pengusaha besar atau kelompok "petani berdasi" yang menguasai lahan hingga ratusan ribu hektar tentu kesempatan untuk terus berkembang luar biasa besar.
Bagi keluarga miskin yang tak memiliki aset, jelas mereka berisiko mengalami marjinalisasi atau pemiskinan kronis. Meski mungkin mereka telah memperoleh kucuran bantuan modal dari pemerintah, sepanjang iklim persaingan yang dihadapi sangat ketat, dan peluang untuk mengembangkan diri nyaris tertutup, maka yang terjadi biasanya adalah kegagalan demi kegagalan. Jangankan berkesempatan untuk mengembangkan usaha yang ditekuni, bukan tidak mungkin keluarga-keluarga miskin yang mengalami proses marjinalisasi akan berpeluang kehilangan sisa-sisa aset produksi yang mereka miliki.
Secara garis besar, ada sejumlah dampak yang muncul akibat terjadinya polarisasi kepemilikan dan penguasaan lahan di Indonesia. Pertama, peluang masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan usaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya niscaya akan makin sulit karena mereka biasanya akan terjebak dalam pusaran dan perangkap utang yang berkepanjangan. Mekanisme gali lubang dan tutup lubang adalah hal yang biasa dilakukan keluarga miskin untuk dapat terus memperpanjang kehidupan sanak keluarganya. Seorang buruh tani miskin, misalnya, bagaimana mungkin mereka dapat mempertahankan taraf kehidupannya jika tidak didukung oleh pekerjaan yang ditekuni, seberapa pun buruk besaran upah yang mereka terima.
Kedua, kesenjangan penguasaan lahan kemudian berimplikasi pada makin kecilnya peluang masyarakat miskin untuk mengembangkan potensi dirinya. Di kalangan masyarakat miskin yang tak memiliki aset, dan sudah lazim terjadi, mereka akan sulit naik kelas karena margin keuntungan yang tidak pernah beringsut membaik.
Alih-alih usaha yang ditekuni dapat berkembang dan makin produktif, dalam kenyataan yang terjadi umumnya adalah pergeseran okupasi ke arah yang makin tidak jelas. Tidak sekali-dua kali kasus membuktikan bahwa akibat tidak memiliki modal dan usaha yang layak, maka kemungkinan untuk memperbaiki taraf kehidupan keluarga miskin niscaya seperti berhadapan dengan tembok yang kaku.
Ketiga, ketika sejumlah kecil elite memiliki kuasa dalam mengelola lahan hingga ratusan ribu hektar, ditambah lagi sebagian juga memiliki bisnis batubara dan bisnis lain yang menguntungkan, maka jangan heran jika mayoritas keluarga miskin yang tidak memiliki apa-apa akhirnya harus menerima nasib hidup dengan penghasilan yang pas-pasan, bahkan kekurangan. Mobilitas vertikal berjalan sangat lamban, atau nyaris tidak ada. Sementara dari kelompok warga masyarakat yang memiliki aset yang luar biasa besar itu, mereka dari waktu ke waktu justru memperoleh penghasilan yang terakumulasi makin besar.
Transparansi
Saat ini, jumlah penduduk miskin memang dilaporkan menurun hingga satu digit. Tetapi, polarisasi antara lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty) dan lingkaran keberlebihan (vicious circle of affluence) niscaya tetap berpotensi menyebabkan marjinalisasi, proletarisasi, dan meluasnya tekanan kemiskinan.
Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin keluarga buruh tani tanpa lahan dapat mengembangkan usahanya saat menghadapi petani-petani raksasa yang menguasai lahan hingga ratusan ribu hektar. Seseorang yang menguasai ratusan ribu hektar lahan tentu akan berkesempatan untuk menikmati surplus penghasilan yang terus diinvestasikan untuk mengakumulasikan kepemilikan modal. Sebaliknya, akibat pangsa pasar yang mayoritas telah dikuasai pelaku sektor pertanian berskala raksasa, maka peluang petani kecil dan buruh tani untuk mengembangkan usaha niscaya tidak pernah ada. Tekad untuk terus mengurangi angka kemiskinan akan sulit dilakukan jika persoalan ketuantanahan (landlordism) dan penguasaan tanah berskala raksasa masih dibiarkan tidak tertangani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar