Sewaktu sakit, John McCain pernah meminta dua bekas lawan politiknya dalam pemilu Amerika Serikat, George W Bush dan Barack Obama, turut menyampaikan eulogi dalam pemakamannya.

Sesudah McCain wafat, keduanya memenuhi permintaan itu. Bagi Obama, permohonan ini mengandung humor yang cerdas: "Cara terbaik menjadi orang yang tertawa paling belakangan adalah meminta George dan saya mengatakan hal-hal baik tentang dia kepada seluruh bangsa."

Perbedaan politik, baik bagi McCain maupun Obama, bukan alasan untuk berhenti menghormati, apalagi bermusuhan dan saling membenci. Obama menegaskan bahwa permintaan McCain memperlihatkan kebesaran jiwanya. Ia mampu melampaui perbedaan demi menemukan titik tolak untuk bekerja sama.

Walaupun perbedaan pandangan politik dan persaingan antarpartai tak bisa dihindari, selalu ada nilai-nilai dasar yang melampaui demarkasi partai.

Tanpa nilai-nilai dasar yang dipegang bersama, politik berubah menjadi peperangan yang penuh taktik kotor. Sayangnya, itulah yang saat ini terjadi di mana-mana. Alih-alih mempersatukan, politik menjadi racun yang mengoyak tali persaudaraan.

Indonesia hari-hari ini pun mengalaminya demikian. Masa kampanye Pemilu 2019 kini makin sarat dengan hoaks dan ujaran kebencian yang dilontarkan pendukung kedua kubu pasangan calon presiden. Telepon pintar dijejali pesan Whatsapp, posting-an Facebook, dan kicauan Twitter. Isinya adalah pujian terhadap calon pilihan dan cercaan terhadap calon dan kubu lawan.

Kelahiran republik medsos
Media sosial (medsos) telah menyatu dengan denyut kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Dalam Digital in 2018 yang dirilis We Are Social, Indonesia menempati peringkat ketiga untuk jumlah waktu yang dihabiskan di medsos setiap hari. Rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan 3 jam 23 menit per hari untuk pelbagai aktivitas di medsos.

Konten medsos amat beragam, mulai dari tutorial memasak hingga video hewan yang memancing tawa. Analisis politik dan Pemilu 2019 juga bertebaran karena makin banyak pihak yang merasa bahwa bisa menulis dan menyebarkannya di medsos merupakan bentuk partisipasi politik yang bisa mengubah nasib bangsa ini. Boleh jadi memang demikian.

Namun, ada masalah yang belum cukup jeli disadari banyak orang. Medsos telah mengubah bukan hanya cara kita bertindak dalam politik, melainkan juga cara kita memikirkan dan merasakan perkara-perkara politik. Medsos melahirkan antropologi baru yang bisa mengubah wajah NKRI menjadi Republik Medsos.

Apa ciri republik medsos? Kajian Merlyna Lim tentang Pilkada DKI 2017 bisa memberi sedikit gambaran. Ia menjelaskan bahwa medsos secara otomatis menyeret penggunanya masuk ke dalam "goa-goa algoritma" (algorithmic enclaves). Dalam goa algoritma, pengguna sulit menemukan pandangan politik yang berbeda. Sebaliknya, ia dijejali ungkapan emosional yang cenderung menggambarkan kubu lawan sebagai musuh yang penuh keburukan.

Kontestasi politik lantas dipahami sebagai pertarungan hidup-mati penuh dengki. Alih-alih mengandalkan nalar kritis guna menemukan titik tolak bersama, para penghuni goa algoritma bertindak seturut impuls emosional atas suatu peristiwa. Itulah mengapa dalam Republik Medsos ekstremitas cenderung menguat.

Realitas virtual ini berimbas pada kehidupan sosial di luar jaringan (offline). Ikatan keluarga, persahabatan, dan komunitas menjadi retak. Tentu saja, di balik itu ada elite-elite politik yang bermain api. Namun, yang tak bisa diabaikan adalah sifat inheren dari medsos. Sejarah pernah mengingatkan itu.

Merawat nalar Republik
Lebih dari 20 tahun lalu, Neil Postman, cendekiawan media asal AS, menulis dalam bukunya, Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business (1986), bahwa kemunculan televisi mengubah cara manusia mencerna perkara-perkara politik.

Pada era media cetak, informasi politik didapat dengan membaca surat kabar atau majalah. Meskipun kemungkinan bias selalu ada, setidaknya berita dan analisis politik sudah melewati mata redaksi yang terlatih untuk menjaga netralitas media sebagai salah satu pilar demokrasi.

Tidak hanya itu, proses membaca memaksa orang memakai nalarnya secara aktif. Lugasnya, media cetak melatih warga negara berdiskusi secara rasional dan substantif tentang isu-isu politik.

Pada era televisi, politik disajikan dalam bentuk entertainment. Fokusnya bukan lagi diskusi kebijakan, melainkan pribadi para politisi. Pergeseran ini sulit dihindari karena sebagai media visual televisi lebih melibatkan dimensi emosional daripada kapasitas intelektual. Sebagaimana dirumuskan Postman, "Anda tidak bisa berfilsafat politik di televisi.

Bentuknya berlawanan dengan isinya." Kalau tidak diimbangi dengan membaca secara serius, daya nalar dalam mengolah informasi politik secara dialektis menjadi tidak terlatih.

Peringatan Postman semakin relevan di era medsos, di mana emosi terungkap secara lebih ekspresif dan tersebar serentak dengan pesat. Emosi menjadi semakin dominan dalam membentuk preferensi. Pilihan politik lalu tak lagi dibentuk atas dasar deliberasi kritis, tetapi atas dasar rasa suka dan tidak suka.

Demokrasi akhirnya tak lebih dari tirani preferensi mayoritas. Perpecahan makin tak terelakkan. Padahal, setelah pemilu, hidup bersama masih akan terus berlangsung. Angkat kaki dari karut-marut politik tentu bukan jalan keluar. Berpolitik dengan medsos sudah menjadi tanda zaman ini.

Persis karena itu, tantangannya adalah mengenali secara mendalam dampaknya pada pembentukan emosi, pikiran, dan tindakan politik kita. Baru kemudian kita bisa menjadikan medsos sarana berpolitik yang tidak menguasai tujuan kita berpolitik. Republik Indonesia atau Republik Medsos? Pilihan ada di tangan kita.