Narasi populisme mengalami kebangkitan di berbagai belahan dunia. Mulai dari kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dan terakhir di Eropa dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, dikenal dengan Brexit (Britanian Exit).
Sesaat narasi populisme terbukti memang mampu menjadi magnet kebanyakan orang yang menganggap dirinya teralienasi dari proses politik sehari-hari, tetapi pada waktunya populisme ditantang manifestasinya dalam politik fiskal.
Populisme sendiri kerap dianggap sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap institusi politik yang sudah mapan. Sebagai posisi politik, para populis meletakkan dirinya dalam bingkai antoginistik terhadap elite, memiliki rasa kuat identitas kelompok, baik secara struktur ekonomi, ras, maupun agama.
Pemimpin populis mengklaim dirinya mewakili dan memiliki hubungan personal dengan rakyat untuk melawan elite dengan mengutamakan kepentingan ke dalam kelompoknya (Weyland, 2001).
Dari sisi ekonomi politik, kebangkitan populisme ditandai dengan ketidakpuasan performa ekonomi, di mana ada anggapan bahwa keadaan seharusnya bisa lebih baik. Biasanya terjadi pada negara-negara yang telah mengalami pertumbuhan ekonomi moderat, stagnasi, dan depresi atas kesenjangan ekonomi yang terjadi (Dornbusch and Edwards, 1990).
Bagaimana populisme meraih kemenangan? Belajar dari kasus dua negara besar dan terbaru, AS dan Inggris, penyebaran disinformasi disertai menebar ketakutan atas ancaman dari luar kelompoknya terbukti mumpuni. Narasi kampanye Trump, Make America Great Again, membangkitkan sentimen anti- imigran yang mengancam ekonomi AS. Hal serupa terjadi pada kasus Brexit.
Kampanye yang digembar-gemborkan adalah Taking Back Control. Dengan pesan yang berulang-ulang, Inggris mengirimkan kontribusi 350 juta pound setiap minggu kepada Uni Eropa dan dana itu lebih baik dialokasikan guna membiayai sistem kesehatan nasional.
Kampanye juga menebar ancaman ketakutan akan masuknya arus migrasi dari Turki sebanyak 70 juta orang, jika Turki bergabung dengan Uni Eropa. Kampanye ini terus diulang-ulang, dan tentu saja tidak sepenuhnya benar, hingga melekat di pemilih Inggris. Saat ini survei-survei yang dilakukan menunjukkan perubahan keputusan untuk tetap Bersama Uni Eropa jika diadakan referendum kembali. Narasi populisme memiliki implikasi terhadap politik fiskal.
Anggaran merupakan manifesto sejauh mana retorika kampanye dan pernyataan kebijakan saat pemilu direalisasikan. Para populis umumnya tak banyak menaruh perhatian pada politik anggaran yang akan dihadapi guna merealisasikan janji-janji populismenya.
Secara terang benderang kasus AS mengonfirmasi narasi populisme terbentur politik anggaran. Janji kampanye Trump membangun tembok perbatasan dengan Meksiko membentur dinding pembahasan anggaran di Kongres yang berakibat pada shutdown atau pemerintahan terhenti sementara.
Indonesia populis
Kebangkitan populisme pada Pemilu 2014 secara ekonomi-politik memenuhi kriteria yang disebutkan di atas. Selama 10 tahun sebelumnya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi cukup moderat, tetapi tak banyak reformasi kebijakan ekonomi untuk mengatasi persoalan belanja subsidi energi yang membengkak disertai defisit infrastruktur (Hill, 2015). Angka ketimpangan juga mengalami lonjakan, tecermin pada rasio gini, dari 0,36 pada 2005 menjadi 0,43 tahun 2014.
Tidak mengherankan, kebangkitan populisme juga menyentuh Indonesia sejak Pemilu 2014, pemilu yang membelah pemilih dengan tajam. Bahkan, ahli Indonesia di Australia, Marcus Mietzner (2014), meletakkan Pemilu 2014 sebagai pertarungan di antara dua populis.
Prabowo dikategorikan sebagai populisme oligark, dengan klaim merepresentasikan kelompok yang menentang elite dan berjanji akan membawa perubahan dari krisis, ancaman, dan musuh dari luar meski ia berasal dari elite itu sendiri dengan posisi elite politik yang terlahir dari relasi kekuasaan oligarki (Aspinal, 2015). Sementara Jokowi dikategorikan populis teknorat atau bentuk populisme ringan yang lahir dari luar lingkaran elite dan membawa program- program sosial yang bersifat pragmatis atau teknokratis (Mieztner, 2014).
Pemilu 2019 yang akan digelar dalam hitungan hari kembali menyajikan tanding ulang calon presiden pemilu sebelumnya. Bedanya, Jokowi merupakan petahana yang kembali melanjutkan janjinya untuk program-program kesejahteraan melalui kartu-kartu. Sementara Prabowo kembali masih menggunakan narasi- narasi besar yang relatif sama, seperti kekayaan Indonesia yang dikuasai, anti- elite, dan utang yang membengkak.
Membandingkan narasi dua capres
Implikasi narasi populisme terhadap politik fiskal, seperti kasus di AS dan Brexit, memberikan pelajaran kepada publik agar tidak mudah terbuai narasi-narasi populisme. Publik hendaknya cermat menilai narasi pasangan calon yang bertarung memiliki implikasi terhadap fiskal kita, baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Dari sisi pendapatan, pasangan 01 berikrar meneruskan perbaikan tata kelola pajak lewat program amnesti pajak pada 2016 dan meningkatkan pajak impor pada barang tertentu. Pasangan 02, menawarkan program cukup atraktif dengan memotong Pajak Penghasilan 5-8 persen untuk menstimulasi peningkatan konsumsi guna mendongkrak pendapatan negara dari Pajak Penghasilan.
Meski terlihat menjanjikan, kebijakan ini menyimpan bom waktu yang dapat memperlebar jurang kesenjangan pendapatan karena lebih menguntungkan orang-orang superkaya.
Pada level belanja negara, publik perlu mencermati program-program populis kedua pasangan, baik dari sisi efektivitas maupun beban terhadap belanja negara. Pasangan petahana kembali menawarkan program kartu-kartu untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat. Patut diakui, meski dari sisi efektivitas program kartu-kartu ini masih ada yang perlu dibenahi, program ini mampu menekan angka kemiskinan dan rasio gini dalam empat tahun terakhir.
Sementara pasangan penantang juga menawarkan program-program yang tidak terlalu jauh berbeda dengan yang sudah dilakukan dan ditawarkan pasangan petahana, dengan kemasan yang berbeda.
Pada sisi pembiayaan, pasangan 01 lebih moderat terkait dengan isu utang dengan merencanakan untuk mengurangi proporsi kepemilikian asing sebanyak 20 persen dalam lima tahun kedepan. Sementara pasangan 02 memiliki argumen yang lebih populis terhadap utang, dengan menghentikan utang untuk membayar utang dan utang untuk biaya rutin.
Meskipun cukup menarik, narasi utang yang ditawarkan pasangan ini tidak realistis di tengah rencana untuk memangkas Pajak Penghasilan. Menjadi pertanyaan sumber penerimaan negara untuk menjalankan program- programnya.
Dalam area keuangan publik, cara pikir kebijakan fiskal yang lebih menekankan pada disiplin fiskal dan pertumbuhan ekonomi ketimbang pemenuhan layanan publik dan aspek keadilan tengah diuji para sarjana keuangan publik (Renzio and Lakin, 2019). Media, lembaga keuangan internasional, dan pasar keuangan kerap menanyakan sejauh mana defisit anggaran negara dan kontribusinya mendorong investasi serta pertumbuhan.
Pada praktiknya, memang kebijakan fiskal di sejumlah negara kerap didikte dengan disiplin fiskal yang ketat dengan fokus defisit dan utang rendah serta tarif pajak rendah untuk menstimulasi pertumbuhan.
Namun, hal ini berdampak pada terbatasnya ruang fiskal yang dimiliki pemerintah serta menjadikan redistribusi pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan publik berada pada tujuan sekunder.
Dalam konteks Pemilu 2019, politik fiskal perlu menjadi alas untuk menilai sejauh mana narasi-narasi populisme yang ditawarkan membumi dan dapat direalisasikan.
Para narator populisme memang menjanjikan menu ekstrem dalam memanen dukungan, tetapi dapat menjerumuskan kita pada paceklik politik fiskal. Ingat, pemilu bukan sekadar mencari pemimpin, melainkan soal nasib generasi mendatang.
Yuna Farhan Pemerhati Politik Anggaran
Kompas, 23 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar