AFP/WANG ZHAO

Wakil Presiden Komisi Eropa Jyrki Katainen (kiri) dan Wakil Perdana Menteri China Liu He, Senin (25/6/2018), bersiap untuk mengadakan jumpa pers bersama di Beijing. Uni Eropa meminta China untuk mencegah kelebihan kapasitas di industri-industri, termasuk sektor teknologi tinggi, yang masuk dalam strategi Made in China 2025.

Para pemimpin anggota Uni Eropa tengah merumuskan sikap mereka terhadap China guna merespons fenomena kebangkitan ekonomi negara tersebut.

Seperti diberitakan harian ini, Jumat (22/3/2019), Uni Eropa sedang menyusun strategi defensif untuk menghadapi China. UE menunjukkan sinyal akan mengakhiri era akses tanpa batas yang dinikmati perusahaan-perusahaan dari negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu.

Intinya, bagi UE, tata ekonomi internasional telah berubah. China sudah tak bisa lagi menyandang status khusus sebagai negara berkembang. China telah menjadi kompetitor ekonomi. Dalam situasi itu, saat UE masih memberikan kemudahan bagi entitas bisnis China untuk masuk ke pasar Eropa, Beijing dinilai justru cenderung menghambat akses perusahaan asal Eropa.

Pembahasan sikap bersama UE terhadap China oleh para pemimpin negara Eropa berlangsung pada Kamis lalu. Hasilnya dibawa ke KTT UE-China yang digelar bulan depan.

Hal yang menarik, saat Brussels menyusun langkah defensif terhadap Beijing, salah satu negara anggota UE, yakni Italia, malah memberikan sinyal hendak menjalin hubungan lebih akrab dengan China. Italia menyatakan tertarik dengan skema pembiayaan megaproyek infrastruktur oleh Beijing atau Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI).

Selain itu, Presiden China Xi Jinping, Kamis, juga tiba di Roma untuk melakukan kunjungan kenegaraan di Italia. Menurut media China, Global Times, kunjungan ini adalah yang pertama dilakukan oleh kepala negara China ke Italia selama 10 tahun terakhir. PM Italia Giuseppe Conte lalu menandatangani nota kesepahaman 1 triliun dollar AS dengan Xi, Sabtu, terkait rencana negara itu bergabung dengan BRI.

Jika jadi bergabung dalam BRI, Italia merupakan negara pertama anggota G-7 (tujuh negara dengan perekonomian termaju di dunia) yang melakukan hal itu. Selain Italia, negara anggota G-7 ialah Jepang, Perancis, Jerman, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat. Sejumlah negara, termasuk beberapa anggota G-7, selama ini melihat BRI sebagai bentuk upaya China untuk memperluas pengaruh dan cenderung menempatkan negara penerima bantuan dalam jeratan utang.

Song Qing, peneliti pada Shanghai Institutes for International Studies, menulis di Global Times bahwa bergabungnya Italia dalam BRI akan membantu China untuk meningkatkan akses di Eropa.

Caranya, China membiayai peningkatan pelabuhan di Italia sehingga kapal kargo raksasa pengangkut produk China dapat merapat dengan mudah di pelabuhan itu. Lewat cara ini, produk-produk China dapat masuk ke pasar Eropa dengan jauh lebih efisien.

Dalam situasi inilah, sangat menarik mencermati perkembangan sikap UE terhadap China. Eropa merasa perlu untuk bersikap defensif terhadap kebangkitan China, tetapi di sisi lain, Beijing harus diakui mampu memberikan bantuan pembiayaan infrastruktur yang dibutuhkan negara Eropa.


Kompas, 23 Maret 2019