Manusia dihadapkan pada preposisi yang tak dikenal sebelumnya. Mungkin tak seorang pun dapat dengan yakin mengatakan arah peradaban, bahkan dalam jangka tak terlalu jauh,  seperti dikatakan Schwab, CEO Forum Ekonomi Dunia.

Di satu sisi, Revolusi 4.0 membuat kegiatan manusia menjadi jauh lebih efisien, tetapi juga fleksibel. Manusia dari belahan dunia mana pun dapat belajar dan tersambung satu sama lain. Tahun 2018, pengguna telepon seluler pintar di dunia sudah melebihi 50 persen.

Pengetahuan punya horizon yang luas untuk dikonstruksikan dan masyarakat  dapat mengakses buah pengetahuan yang sebelumnya berada di forum terbatas. Revolusi 4.0 memungkinkan munculnya kerja sama dan koordinasi yang tak terbayangkan sebelumnya, memberikan masyarakat pelayanan lebih murah, cepat, dan spesifik.

Di bidang ekonomi, teknologi informasi (TI) memungkinkan munculnya platform koordinasi baru. Terjadi model baru ihwal keterlibatan, termasuk prasyarat aset, platform, dan sistem kontrol. Contoh yang paling kita kenal adalah transportasi daring. Dengan telepon seluler pintar di tangan, anggota masyarakat yang tadinya tak masuk dalam institusi keuangan formal kini dapat masuk melalui  berbagai platform baru.

The Economist (3/5/2018) memperkirakan terjadi penurunan kelompok yang unbankable menjadi 1,7 miliar (2017) dari 2,5 miliar (2011). Ini adalah potensi keterlibatan dalam sistem keuangan formal. Tampaknya definisi inklusi-eksklusi harus banyak ditinjau kembali.

Namun, di sisi lain, banyak kekhawatiran akan masa depan kestabilan umat manusia. Banyak analisis memperkirakan  sekitar 35 persen bidang pekerjaan akan segera jadi tak relevan. Akankan jenis kesempatan baru dapat menyerap kebutuhan kerja? TI yang tampaknya membuka akses pada banyak orang tak berarti tanpa risiko kesenjangan digital.

Bagi golongan yang menguasai digital dan tahu memanfaatkan dunia baru, mereka akan bergerak sangat cepat menjadi kekuatan besar. Mahadata (big data) hingga saat ini masih dalam pencarian sistem untuk menjaga akuntabilitasnya.

Dalam bidang ekonomi, meski kesempatan baru tercipta secara fleksibel, banyak orang bekerja dalam kondisi tak pasti. Saat ini secara global terjadi peningkatan anak muda yang tak bekerja, yaitu sekitar 311 juta perkiraan tahun 2013 (The Economist, 27/4/2013).

Industri tak berjalan seperti di waktu lalu: perekrutan pegawai jauh berkurang dan industri harus menggunakan sumber daya di luar yang fleksibel serta beberapa ditekan untuk melakukan otomatisasi. Tingkat adopsi robot secara global saat ini berkisar 23-37 persen (Forum Ekonomi Dunia, 2018). Banyak negara yang tak siap mengubah kapasitas masyarakatnya untuk ikut dalam jaringan ekonomi baru dan otomatisasi.

Konsep Society 5.0
Berbagai perubahan yang menggelisahkan juga terjadi di wilayah hubungan sosial. Individu menjadi terlalu terbenam dalam komunikasi digital dan kehilangan komunikasi yang mengandung empati serta pemahaman kontekstual.

Masyarakat juga rentan terhadap hoaks dan tak memiliki mekanisme untuk mengonstruksikan banjir informasi menjadi suatu pemahaman yang lebih utuh dan kontekstual. Bahkan, kerentanan ini terjadi di kalangan terdidik.

Kebebasan mendapat informasi menimbulkan ilusi bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan mudah sehingga mendelegitimasi institusi penghasil pengetahuan yang bekerja dengan metode dan akuntabilitas tertentu.

Baru-baru ini Pemerintah Jepang memopulerkan gagasan yang disebut Society 5.0, yaitu masyarakat yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. Teknologi yang dibicarakan di sini adalah teknologi yang sedang berkembang di Revolusi Keempat saat data terkoneksi satu sama lain dan menggunakan kecerdasan artifisial.

Teknologi Revolusi Keempat akan diarahkan untuk menangani persoalan kesejahteraan fisik penduduk (kesehatan, partisipasi kerja, dan pengelolaan kota). Konsep 5.0 menciptakan pikiran yang salah bahwa angka 5 di sini adalah kelanjutan dari apa yang ada di Revolusi Keempat.

Society 5.0 adalah memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang untuk mengatasi persoalan yang muncul (sebagian) akibat Revolusi Keempat, yaitu alienasi relasi sosial, kesenjangan digital yang mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi, penggunaan teknologi yang terfragmentasi secara kerangka kesejahteraan bersama.

Sebagian upaya yang ada di Society 5.0 sudah dilakukan saat ini. Di bidang ekonomi, koordinasi faktor produksi dan distribusi sudah dilakukan di Amerika Serikat, China, dan tempat lain. Malah Jepang tampak tertinggal dibandingkan dengan AS dan China serta sekarang ingin mengatasi ketertinggalan.

Kasus Toshiba, misalnya. Perusahaan ini akan muncul lagi dan ingin  bersaing dengan menerapkan cyber physical (CP). CP ini diharapkan memecah persoalan inefisiensi pengambilan keputusan ekonomi, di mana sebenarnya Jepang memiliki pengetahuan teknik yang amat baik.

Society 5.0 juga bukan suatu konsep yang menyediakan gagasan untuk menangani persoalan ekonomi dan sosial yang diakibatkan faktor sosiologis, seperti tingkat kohesi sosial, kesenjangan kekuasaan, perbedaan kesempatan ekonomi, dan ketimpangan kekuasaan/pengaruh. Jadi, banyak hal yang harus dilengkapi dalam kerangka tersebut jika ingin memecahkan berbagai masalah tadi.

Society 5.0 Indonesia?
Pemerintah sudah menaruh perhatian pada penggunaan digital untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan. Pengelolaan beberapa kota sudah menggunakan data terpadu. Indonesia sendiri cukup aktif dalam skema global open government dan smart cities. Pemerintah juga mengeluarkan skema pengembangan UKM dan industri kreatif.

Menurut penulis, persoalan dari rancangan itu adalah bukan soal tingkat penguasaan teknologi digital Indonesia meski memang ada masalah efisiensi penggunaan internet, terutama di daerah. Harus disadari bahwa pemanfaatan digital bergantung pada kerangka berpikir kita tentang persoalan ekonomi dan sosial (juga politik) yang ingin diselesaikan melalui penggunaan digital.

Jangan pernah berpikir bahwa suatu lompatan besar mengatasi ketertinggalan Indonesia dapat dilakukan melalui digital. China, misalnya, bukan hanya hebat dalam penguasaan kecerdasan buatan dan teknologi digital yang membuatnya mampu menjadi pemain penting dunia.

Sejalan dengan pengembangan teknologi tersebut, China memusatkan upaya luar biasa menyelesaikan persoalan sumber daya, struktur, tata kelola dan jaringan industri, serta infrastruktur. Dunia virtual selalu sejalan dengan perbaikan infrastruktur, organisasi, dan sumber daya manusia.

Di tingkat masyarakat, ada persoalan mutu pendidikan yang menjadikan rendahnya kemampuan menarik logika dan menganalisis persoalan (lihat peringkat PISA , 2016). Juga ada pendidikan yang tidak mendorong orientasi problem solution dan koordinasi/kerja sama. Dengan mudah masyarakat menggunakan informasi secara ceroboh untuk mengambil keputusan pribadi (misalnya, percaya tentang pengobatan tertentu) atau berdiskusi di ruang publik (melakukan penilaian tajam dengan informasi tidak teruji).

Revolusi Keempat menciptakan persaingan berdasarkan rekonstruksi apa yang disediakan lingkungan, tetapi jika pengetahuan bagaimana mengonstruksikan banjir informasi, yang terjadi adalah disorientasi.

UMKM kita bukan hanya butuh kemampuan digital, melainkan juga infrastruktur inovasi, kemudahan bahan baku, keterampilan masuk ke dalam jaringan bisnis, dan juga (sebagian) modal. Program digital UMKM baru menyediakan layanan terbatas, seperti sumber memperoleh permodalan dan pemasaran serta harga alternatif. Namun, kita masih jauh dari melihat kelemahan institusional dan organisasional yang menjadi kendaraan ekonominya.

Pelayanan kesehatan dan pendidikan bukan soal ketersediaan digital. Konten pelayanan harus dibahas menurut karakter masyarakat yang dilayani dan kapasitas birokrasi disesuaikan menurut konteksnya. Pengadaan digital pendidikan bukan harus meliputi pengetahuan mengonstruksikan informasi agar menjadi pengetahuan yang berguna. Secara makro, penyesuaian integrasi perubahan industri harus sejalan dengan transformasi pendidikan.