Angket tidak memengaruhi nilai ujian nasional. Pemerintah, seperti diberitakan harian ini, ingin mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan pembelajaran siswa. Misalnya saja soal tingkat kesejahteraan siswa, keterlibatan orangtua dan guru dalam pembelajaran, serta suasana sekolah.

Yansen mengajar siswa kelas 1 di SD YPPK St. Agustinus di Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Papua, Senin (04/03/2019). Masih banyak anak di Papua yang tidak dapat mengecap bangku pendidikan karena harus mengikuti orang tua mereka bekerja.

Langkah ini tentu saja kita sambut dengan senang hati karena selama ini kita jarang atau bahkan kurang mendengar persepsi siswa tentang penyelenggaraan pendidikan. Persepsi baik atau buruk hanya dari kacamata orangtua. Padahal, zaman sudah berubah, sumber informasi melimpah dan pola hubungan orangtua-anak sudah jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya.

Angket tentu saja diperlukan. Data kuantitatif tidak cukup menggambarkan kondisi siswa yang sebenarnya. Sebagai contoh, mengutip data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah siswa putus sekolah di semua jenjang pendidikan tidak sampai 1 persen dari jumlah siswa.

Di jenjang SD, misalnya, dari 25,4 juta siswa pada tahun ajaran 2017/2018, tercatat 32.127 siswa yang putus sekolah. Di jenjang SMP, dari 10,1 juta siswa tercatat 51.190 siswa yang putus sekolah. Adapun di jenjang SMA/SMK dari 9,6 juta siswa tercatat 104.511 siswa yang putus sekolah. Meski demikian, angka ini tidak cukup memberikan penjelasan mengapa siswa putus sekolah.

Siswa SDN 3 Bengkaung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, kini bisa belajar dengan tenang dan nyaman, menyusul gedung sekolahnya usai dibangun, Gedung SD itu dibangun dari donasi Pembaca Harian Kompas, melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Gedung itu diserahkan Kamis (28/2/2019).

Jika alasannya faktor ekonomi siswa, bukankah pemerintah sudah menggratiskan biaya pendidikan dasar? Selain itu, pemerintah juga sudah mengucurkan dana sangat besar lewat Program Indonesia Pintar/Kartu Indonesia Pintar (PIP/KIP) untuk siswa miskin. Sejak 2015 hingga 2018, pemerintah telah membagikan dana sekitar Rp 35,7 triliun untuk 27,9 juta siswa penerima KIP.

Besarnya dana yang diterima siswa masing-masing Rp 450.000 per tahun untuk siswa SD sederajat, Rp 750.000 untuk siswa SMP, dan Rp 1 juta per tahun untuk
siswa SMA/SMK sederajat. Karena itu, tentu ada masalah yang belum terjawab jika sampai siswa putus sekolah. Angket mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Meski demikian, menjadi pertanyaan pula mengapa angket harus dibagikan saat penyelenggaraan UN? Jika tujuannya untuk mengetahui kondisi siswa, tentu akan lebih bijak jika penyebaran angket tidak dilakukan saat penyelenggaraan UN sehingga tidak mengganggu konsentrasi siswa.

Lebih penting lagi, pemerintah harus bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat, kebijakan yang bakal diambil setelah angket dari siswa dikumpulkan kembali. Angket bukan sekadar menyebarkan pertanyaan, melainkan yang lebih penting adalah tindak lanjut untuk perbaikan penyelenggaraan pendidikan.

Siswa kelas XII melakukan ujian praktik membuat roket air di SMA Dua Mei, Cempaka Putih, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (28/2/2019). Ujian praktik ini merupakan implementasi teori mata pelajaran fisika untuk menunjang kelulusan siswa. Selain itu, bagi siswa kelas XII yang ingin melanjutkan kuliah juga harus mempersiapkan pendaftaran Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang bakal digelar mulai 1 Maret 2019.


Kompas, 23 Maret 2019