Tantangan dalam percakapan tidak sekadar mengenai pemahaman atas diri kita sendiri, melainkan juga bergantung pada cara kita mendefinisikan diri yang kita inginkan. Diri kita dinamis. Karena itu, untuk menemukan pemahaman diri lebih jauh, perlu relasi dengan orang lain.
Kita tidak akan menemukan pemahaman diri apabila kita hanya berdiam diri di atas gunung, bermeditasi, atau mencoba menelusuri kehidupan dalam hati sanubari kita yang terdalam. Jalan terbaik untuk menemukan pemahaman diri kita adalah melalui relasi yang kita bina dengan orang lain.
Di sisi lain, semakin penting dan semakin luwes relasi yang kita bina dengan pasangan atau dengan anggota keluarga, misalnya, menyebabkan semakin sempitnya rentang kemampuan komunikasi kita dengan lingkungan sosial. Sebab, gaya percakapan kita akan terbiasa dengan pola relasi yang sempit, dengan keterbatasan wawasan serta pengalaman pemaknaan diri yang dangkal.
Kita perlu meningkatkan kemampuan mengembangkan diri supaya dapat menciptakan gaya percakapan baru yang lebih luas. Dengan demikian, kita dapat meraih kemungkinan mengembangkan pemaknaan diri pula.
Untuk itu, kita memperbaiki, berpikir, merencanakan, bahkan berpura-pura dalam gaya percakapan. Ini bukan sebagai koreksi terhadap rasa takut atau ingin berubah untuk mendapatkan rasa aman, melainkan untuk memosisikan diri sehingga berani mengungkapkan apa pun yang ada dalam benak kita.
Tujuannya bukan untuk lari dari otentisitas diri, tetapi berkreasi, sehingga membuat diri lebih mantap dan percaya diri dalam setiap percakapan. Kita perlu tampil sebagai orang yang dapat dipercaya, meyakinkan, membanggakan, spontan, dan bukan diri yang tertahan.
Percakapan yang terasa sulit
Ada kalanya kita terjebak dalam kondisi sulit. Saat sedang marah, frustrasi, galau, bingung, penuh ketakutan, tersakiti, dikhianati, kelelahan luar biasa atau putus asa, kita butuh energi psikis yang tidak sederhana untuk bisa bertahan pada gaya percakapan yang diinginkan.
Mungkin kita pernah berada dalam posisi sebagai orang yang dinilai tidak bertanggung jawab, tidak didengar, atau berseberangan dengan lawan bicara. Saat itu, kita akan tiba dalam situasi yang juga "tidak mampu mendengar" orang lain berbicara. Kita menempatkan diri kita dalam kondisi terpuruk oleh berbagai keluhan, kritik, dan tuntutan.
Saat itu kita benar-benar membutuhkan permintaan maaf dari lingkungan atau pemberitahuan bahwa kondisi itu tidak akan terus berlanjut dalam kehidupan kita. Agar lebih nyaman, kita dapat memilih untuk belajar mengendalikan percakapan atau sebaliknya, "diam seribu bahasa".
Pada titik itu, muncul kesempatan untuk lebih memperdalam pemahaman kita tentang diri kita, orang lain, dan relasi yang kita jalin. Kita juga belajar menentukan kapan kita memperoleh waktu yang tepat untuk menyerah, keluar dari kelompok percakapan tertentu. Itu dilakukan demi menyelamatkan diri kita. Bahkan kita langsung mengakhiri dan menutup relasi yang kondisinya jelas memperburuk kadar suara otentik kita.
Pilihan-pilihan tersebut memperjelas kematangan gaya percakapan kita dengan orang-orang yang berbeda. Bisa juga menciptakan gaya percakapan yang sama untuk relasi yang sama pada hari yang berbeda.
Ketahuilah bahwa tantangan untuk memiliki suara otentik menjadi sangat sulit dan kompleks saat kita berada di lingkungan dengan kedekatan emosi, terutama dalam kehidupan berkeluarga.
Cucu pertama saya, Nia, yang pernah bersekolah di luar negeri, suatu saat mengalami dilema interelasi dalam keluarga. Suatu saat Nia mampu mengatasi dilema itu dan berkata pada ayahnya yang menjemputnya di bandara saat tiba di Tanah Air untuk berlibur.
"Pah, papa tahukah fakta yang saya hadapi saat ini? Semakin dekat untuk tiba di rumah, semakin terasa bahwa lapisan kematangan yang telah saya miliki selama bersekolah di luar negeri, pelan tapi pasti hilang selembar demi selembar."
Memang demikian, sebab setiba di rumah, Nia kembali harus patuh pada aturan yang berlaku bagi setiap anggota keluarga.
Nia akan kembali ditanya, "Ke mana pergi dan jam berapa pulang." Pertanyaan yang menyesakkan dada remaja, namun harus dijawab untuk mendapat izin pergi keluar rumah. Padahal, selama dua tahun bersekolah di luar negeri, pergi dan pulang sepenuhnya berada di bawah tanggung jawabnya sendiri.
Beberapa orang dan kelompok di sekitar kita mampu meningkatkan dan memberdayakan gaya percakapan kita yang baru, sementara orang lain memperlakukan kita sebagai sosok yang sebaliknya. Jadi, sesekali kita merasa diri kita "brilian" di kelompok tertentu, namun merasa "bodoh" di kelompok sosial lainnya.
Ada beberapa pengalaman yang secara dramatis bisa mengubah pemahaman tentang diri kita, jika kita melakukan percakapan dengan orang-orang tertentu. Itu sekaligus membuat kita merasa memiliki dunia yang lebih besar. Kita dapat melakukan beberapa hal untuk menuntun diri mengembangkan suara otentik yang berpengaruh pada terciptanya gaya percakapan kita yang baru.
• Ciptakanlah jabaran tentang diri kita dan makna dunia kita yang membedakan kita dengan orang lain. Jika kita mengenali diri kita sebagai sosok yang memiliki kecenderungan introvertif, posisikanlah kadar introspektif kita dalam dimensi rentang ekstratensif yang mampu kita ungkapkan secara akurat. Sehingga, perilaku kita menjadi lebih spontan walaupun tetap mencirikan aspek personal yang hakiki.
• Ungkapkanlah pendapat kita dengan penuh hormat dan menyertakan integritas personal. Meskipun kita tahu ada orang-orang tertentu yang sering memperlakukan kita dengan cara tidak baik.
• Perkuatlah kapasitas kita untuk kreatif, bijak, penuh sukacita, dan semangat.
• Tingkatkanlah kapasitas kita dalam memberi dan menerima cinta kasih.
Kesimpulannya, dengan menyertakan butir-butir di atas, berarti kita sudah menguasai hati sanubari kita yang terdalam, menunjukkan siapa diri kita di dunia ini. Itu dapat menjadi fondasi untuk menciptakan relasi yang penuh rasa intim walaupun tetap menjaga harga diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar