Pemerintah dan para pelaku usaha memperkirakan telah terjadi lompatan yang sangat cepat dalam sistem perdagangan di Indonesia dari sistem luar jaringan atau luring (offline) menjadi sistem dalam jaringan atau daring (online) yang menjadi basis e-dagang.
Berdasarkan survei Asosiasi Pengusaha Jaringan Internet Indonesia (APJII), sampai akhir 2017 jumlah pengguna internet di Indonesia 143,26 juta jiwa atau setara 52 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 90,97 juta orang (63,5 persen) pernah melakukan transaksi melalui e-dagang.
Linear dengan kenaikan dari sisi pengguna, lompatan juga terjadi pada nilai transaksi. Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), nilai transaksi e-dagang dalam tiga tahun terakhir naik sangat signifikan. Pada 2020, Menkominfo memperkirakan nilai transaksi e-dagang akan menembus angka 130 miliar dollar AS. Padahal, pada 2015 nilai traksaksi e-dagang baru mencapai 13 miliar dollar. Dengan kata lain, nilai transaksi e-dagang akan naik 10 kali lipat dalam lima tahun.
Ledakan e-dagang ini akan semakin cepat dan besar seiring adanya Revolusi Industri 4.0. Digitalisasi dalam sistem perekonomian secara nasional akan menjadikan e-dagang sebagai motor penggerak dalam semua sektor perekonomian. Oleh karena itu, perkembangan e-commerce dalam sistem perekonomian Indonesia menjadi hal yang tidak bisa dihindari.
Dampak positif
Sistem e-dagang yang lebih mengandalkan perangkat lunak (software) akan membawa dampak ekonomi yang cukup besar. Sistem e-dagang akan memudahkan setiap orang untuk bisa membuka usaha. Setiap orang dapat menjadi penjual barang dan jasa tanpa harus membuka toko luring serta memiliki stok barang terlebih dahulu. Hal ini akan menjadikan orang yang berminat untuk menjadi pengusaha bisa dengan mudah memulai usahanya sehingga terbentuk usaha-usaha baru (start-up).
Selain mempermudah pembukaan usaha baru, e-dagang juga akan mengurangi biaya input produksi. Dengan adanya e-dagang, para pelaku UMKM tidak memerlukan lagi toko luring yang harga sewanya relatif mahal. Selain itu, para pelaku UMKM juga tak perlu lagi membuat persediaan produksi dalam jumlah besar karena barang bisa diproduksi ketika ada pesanan. Penurunan biaya input produksi ini akan meningkatkan daya saing produk-produk UMKM sehingga bisa lebih kompetitif dalam menghadapi persaingan di pasar.
Tumbuhnya sektor UMKM serta start-up ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru yang bisa mengurangi angka pengangguran. Bertambahnya para pelaku UMKM baru serta lapangan kerja baru akan menambah pendapatan masyarakat. Pada akhirnya meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara nasional.
Risiko e-dagang
Di balik gemerlapnya perkembangan bisnis e-dagang di Tanah Air, ia juga memiliki tingkat risiko yang tak bisa dikatakan kecil. Sejauh ini, sebagian besar produk yang ditawarkan dan dijual dalam perdagangan daring di Indonesia berasal dari produk impor. Sekitar 93 persen barang yang diperdagangkan oleh penjual daring adalah produk impor. Jika hal ini tetap dibiarkan, nilai impor Indonesia akan semakin besar. Padahal, tingginya impor sampai saat ini masih jadi masalah utama dalam defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan Indonesia.
Penciptaan lapangan kerja dari e-dagang yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi masalah pengangguran di Indonesia tampaknya tak seperti yang diharapkan. Lapangan kerja baru yang tercipta dalam sistem e-dagang sebagian besar memiliki karakteristik yang berbeda dengan lapangan kerja yang tercipta dari sistem luring. Jika pada sistem luring hubungan pekerja dengan pemberi kerja adalah hubungan industrial, pada sistem e-dagang sistem yang tercipta adalah hubungan kemitraan. Pola hubungan kemitraan ini akan banyak menimbulkan risiko bagi para pekerja karena mereka tak memiliki jaminan ketenagakerjaan dari perusahaannya.
Pada sistem kemitraan, para pekerja akan menanggung semua risiko yang timbul dari pekerjaannya. Risiko kecelakaan kerja, kesehatan, dan jaminan hari tua harus ditanggung secara pribadi oleh pekerja. Perusahaan tak memiliki kewajiban apa pun terhadap kondisi para pekerja mitra tersebut. Semakin banyak pekerja yang terlibat dari sistem kemitraan ini, akan semakin banyak pekerja berisiko yang pada akhirnya harus ditanggung pemerintah.
Risiko lain dalam sistem e-dagang di Indonesia saat ini adalah kepemilikan asing. Saat ini Indonesia setidaknya memiliki empat start-upunicorn, yaitu start-up yang memiliki valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS: Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Namun, menurut laporan Cruchbase, keempat unicorn itu sebagian besar sahamnya telah dimiliki investor asing. Kepemilikan asing ini dapat menimbulkan risiko terkait keuntungan ekonomi yang didapatkan.
Pentingnya regulasi
E-dagang yang saat ini tumbuh dan berkembang pesat di Indonesia memiliki "dua sisi mata pisau sekaligus". Jika bisa dimanfaatkan dengan baik, e-dagang di Indonesia bisa menimbulkan efek berganda yang sangat besar. E-dagang akan menciptakan lapangan usaha baru yang lebih berdaya saing sekaligus menciptakan lapangan kerja baru yang lebih produktif. Bertambahnya lapangan usaha baru dan pekerjaan baru ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Namun, di sisi lain, e-dagang juga memiliki tingkat risiko ekonomi yang tak bisa dianggap kecil. Jika pemerintah tidak membuat kebijakan afirmatif yang dapat menurunkan tingkat risiko e-dagang, meningkatnya jumlah e-dagang akan semakin meningkatkan risiko ekonomi dan menurunkan tingkat ketahanan ekonomi nasional. Karena itu, pemerintah perlu segera membuat peraturan teknis yang lebih detail, terutama yang mengatur hubungan industrial, kepemilikan asing, serta produk dalam negeri yang diperjualbelikan. Jika ketiga masalah ini bisa dikendalikan, e-dagang akan berdampak positif secara signifikan terhadap perekonomian nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar