Dalam beberapa tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh di kisaran 5 persen, lebih rendah dari target 7 persen yang ditetapkan pemerintah serta kisaran 6 persen pada 2010-2013. Tahun lalu neraca perdagangan Indonesia juga kembali defisit setelah mengalami surplus selama beberapa tahun sebelumnya.

Memang faktor-faktor eksternal turut melatarbelakangi keadaan ini. Pertumbuhan ekonomi China, sebagai adidaya ekonomi dunia, telah melambat dari  di atas 10 persen pada tahun 2010 ke arah sekitar 6 persen tahun ini. Akibatnya, kebutuhan China akan sumber daya alam (SDA) dari Indonesia tak lagi melejit seperti dulu. Dengan ekspor yang tumbuh terbatas, Indonesia lantas butuh strategi baru untuk mendongkrak perekonomian domestik.

Sebagaimana lazimnya negara berkembang yang masih harus mengimpor teknologi produksi, Indonesia memiliki kinerja perekonomian yang sangat tergantung dari kelancaran pasokan valuta asing (valas) ke dalam negeri. Dan, sejak 2013, kebutuhan valas untuk impor dan pembayaran kewajiban luar negeri sudah melebihi pasokan valas hasil ekspor. Dalam jargon ekonomi, Indonesia mengalami "defisit neraca transaksi berjalan".

Dalam kesehariannya, nilai tukar rupiah masih bisa dijaga karena kekurangan pasokan valas hasil ekspor masih bisa ditambal oleh utang luar negeri dan aliran modal asing, termasuk investasi ke pasar saham dan obligasi (investasi portofolio). Namun, ini tidak bisa mengubah tren nilai tukar jangka panjang. Di saat arus modal tersebut berhenti atau berbalik, nilai tukar terdepresiasi dan sentimen perekonomian domestik terpukul, sebagaimana terjadi secara berulang pada tahun 2018, 2015, dan 2013.

Aturan repatriasi devisa hasil ekspor yang baru dikeluarkan pemerintah pada awal tahun ini boleh disambut dan mungkin bisa memperlancar pasokan valas dari eksportir SDA. Namun, ia tidak bisa mengubah kondisi fundamentalnya, yakni neraca transaksi berjalan yang defisit. Satu-satunya solusi dari masalah defisit transaksi berjalan adalah dengan menggenjot ekspor.

Harus banting setir

Pada era ekspor mineral dan komoditas mentah tak lagi bisa diandalkan seperti dulu, Indonesia harus banting setir. Devisa dari pariwisata memang sudah mulai meningkat. Begitu juga dengan ekspor logam dasar hasil hilirisasi. Namun, dari kedua itu saja tidak cukup. Indonesia harus bisa mengambil bagian besar dalam rantai nilai industri manufaktur dunia, terutama untuk produk- produk hilir. Ini bisa terwujud dengan cara menarik lebih banyak penanaman modal asing (PMA) yang berorientasi ekspor.

Namun, ada kendala signifikan. Paradigma kebijakan pemerintah di sektor industri manufaktur sudah terbentuk oleh pengalaman mengatur PMA yang mayoritas berorientasi domestik; yaitu PMA yang menjual produk-produknya di dalam negeri.

Bagi PMA yang demikian, berinvestasi di Indonesia sangat menarik karena populasi konsumennya yang sangat besar. Ongkos produksi yang tak kompetitif tak terlalu jadi masalah selama harga jual atau kualitas produk bisa mereka sesuaikan. Maka itu, aturan-aturan seperti prasyarat kandungan lokal dan substitusi impor, yang banyak diberlakukan selama ini, bisa mereka telan dan sedikit banyak bisa membawa manfaat bagi perekonomian.

Namun, dalam menarik PMA berorientasi ekspor, permainannya sangat berbeda dan kompetisi yang dihadapi juga jauh lebih ketat. Populasi besar tak lagi jadi keunggulan. Maka itu, Indonesia harus bersaing langsung dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia yang sudah lebih berhasil menarik rantai nilai manufaktur dunia selama dasawarsa terakhir. Dengan demikian, perbaikan efisiensi perekonomian, kepastian aturan, dan perluasan akses pasar (perjanjian dagang dengan negara-negara maju) mutlak diperlukan.

Kebijakan kontraproduktif

Tidak ada jalan pintas. Alhamdulillah, perbaikan efisiensi sudah mulai digenjot dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran belakangan ini. Namun, banyak kebijakan yang masih dibuat dengan paradigma lama yang justru kontraproduktif upaya menarik PMA berorientasi ekspor.

Perlu disadari bahwa PMA berorientasi ekspor akan memilih lokasi investasi di mana ongkos produksinya paling efisien. Ini mensyaratkan arus keluar-masuk bahan baku dan barang setengah jadi yang sangat lancar. Mereka juga butuh kebebasan memilih sumber bahan baku/intermedier yang paling kompetitif, baik dari luar (impor) maupun dalam negeri (jika ada).

Apabila impor dikondisikan tabu, dan bahan baku/intermedier harus diwajibkan diambil dari dalam negeri, lampu merah bagi masuknya PMA berorientasi ekspor menyala terang. Bahkan, walaupun suatu aturan dibuat dengan semangat membatasi impor barang jadi, dalam praktiknya ketidakpastian usaha tetap muncul akibat seringnya terjadi perbedaan persepsi di level teknis antara birokrasi dan pelaku usaha.

Sekarang ini banyak industri manufaktur yang berniat keluar dari China menuju ASEAN, mulai dari tekstil hingga elektronik, akibat perang dagang Amerika-China. Kebijakan pemerintah harus fokus agar Indonesia bisa menjadi destinasi investasi yang menarik bagi mereka. Ini akan sulit terjadi tanpa perubahan paradigma kebijakan.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sebagai reaksi atas melemahnya nilai tukar harus lebih diseleksi. Tekanan nilai tukar sebaiknya tidak direspons dengan penambahan aturan dan retorika anti-impor yang justru memperburuk persepsi ketidakpastian regulasi industri.

Sebenarnya dalam konteks menghemat devisa pun, hasil dari kebijakan substitusi impor tak akan lama dinikmati. Masalah fundamentalnya adalah bahwa PMA berorientasi domestik menerima laba bersih dalam rupiah dan merepatriasi ke kantor pusat dalam valas. Substitusi impor tidak bisa menyelesaikan ini. Malah dalam jangka panjang, persepsi ketidakpastian yang tercipta akibat aturan substitusi impor akan menghambat masuknya PMA berorientasi ekspor dan membuat pasokan valas makin sulit tumbuh.

Pelemahan rupiah yang tak terkendali memang bisa mendorong inflasi dan memengaruhi stabilitas keuangan. Namun, perlu diingat pula bahwa depresiasi rupiah merupakan cara alami menurunkan hitungan biaya produksi (dalam mata uang asing) bagi PMA berorientasi ekspor yang hendak masuk.

Survei terhadap perusahaan-perusahaan manufaktur Jepang pada 2017 oleh JETRO, misalnya, menunjukkan bahwa biaya produksi di Indonesia sudah tidak kompetitif, yakni lebih mahal daripada di China, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Indonesia tengah menantikan pesta demokrasi pada bulan April nanti. Siapa pun yang terpilih akan memimpin Indonesia menghadapi babak baru persaingan antarnegara ASEAN yang telah kita masuki. Perlu disadari bahwa menggenjot ekspor, terutama untuk industri manufaktur hilir, akan makin sulit dicapai jika pembatasan impor juga dijadikan tujuan. Perubahan paradigma mutlak diperlukan.