"Kompas dari dulu dikenal sebagai media yang membawa kesejukan. Saya kira itu saja yang diteruskan di saat politik hangat." (Pesan Wakil Presiden M Jusuf Kalla kepada pimpinan Kompas saat bertemu di Kantor Wapres, Kamis, 21 Maret 2019, seperti dikutip CEO Kompas-Gramedia Lilik Oetama).
Senin, 25 Maret 2019. Apakah wacana yang menggugah di ruang Redaksi Kompas? Tentu salah satunya moda raya terpadu (MRT) yang sehari sebelumnya, Minggu (24/3/2019), diresmikan Presiden Joko Widodo. Selebihnya pembentukan tim liputan Lebaran serta kehadiran dalam Konferensi WAN-IFRA di Singapura, Mei.
Wacana yang terdengar biasa saja, tetapi dalam membahasnya tetap dengan semangat dan jiwa profesional, disertai hasrat, semangat, dan ketekunan menghadirkan karya jurnalistik bermutu, sekaligus mencerahkan, serta bermanfaat bagi masyarakat luas. Pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara dalam proses rutin profesional itulah yang dijalani Kompas selama kurun hampir 54 tahun.
Dalam perjalanannya, Kompas menyadari, hidup tak selalu berhias "bulan purnama". Beda dengan wacana di newsroom, beda pula saat kami menengok gawai, setidaknya dalam tempo sepekan terakhir, khususnya setelah harian ini menerbitkan survei tentang elektabilitas capres-cawapres, Rabu (20/3).
Reaksi muncul sebagian besar melalui media sosial. Ada yang mempertanyakan metode penelitian, tetapi berikutnya lebih menggebu lagi mereka yang mempertanyakan motif survei. Tak berhenti di situ, penulis opini di media sosial mengupas sosok dan latar belakang Pemimpin Redaksi (Pemred) Kompas.
Medsos hiruk-pikuk membahas survei dan sosok Pemred Kompas dan buntutnya muncul pula ajakan berhenti berlangganan harian ini.
Pada era keterbukaan, Kompas ikhlas menerima semua tudingan dan analisis sepihak, sebagian dengan menerapkan "ilmu" otak-atikgathuk (mencocok-cocokkan hal menurut versinya sendiri). Izinkan melalui tulisan pendek ini, kami mencoba menjelaskan beberapa hal terkait dengan apa yang dipertanyakan publik.
Sudah 15 kali
Mengikuti kaveat ilmu jurnalistik facts are sacred, opinion is free (CP Scott, Manchester Guardian, 1921), Kompas memperlakukan survei sebagai fakta suci, yang tak bisa diotak-atik. Metodenya sudah teruji dalam 15 kali survei serupa yang dilakukan sebelumnya.
Dengan rentang kesalahan yang bisa diterima, survei sebelum ini tidak menjadi masalah. Namun, Kompas terbuka jika ada masukan atau koreksi apabila memang ada kekeliruan metode atau penafsiran, sebagaimana sekali-sekali terjadi dalam penanganan berita.
Dalam catatan Redaksi, Kompas tidak pernah menerima keberatan, baik dari Tim Kampanye Nasional pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sebagian dari setiap kubu justru melihat sisi positif survei. Yang satu melihat survei sebagai wake-up call bahwa pekerjaan belum selesai dan yang lain lebih bersemangat karena melihat masih ada peluang naik.
Pesan penting dari hasil survei adalah tingginya angka pemilih dengan hak suara yang belum menentukan pilihan, 13,4 persen, yang dikhawatirkan berujung pada tidak menggunakan hak pilih. Ini sebenarnya yang ingin kita dorong untuk mencoblos pada 17 April nanti.
Adapun sosok pemred, benar ia pemangku otoritas tertinggi di ruang redaksi. Namun, tidak berarti ia dapat sesuka hati menggunakan wewenang kepemredan. Semua pihak di ruang redaksi memahami bahwa koran—sebagaimana sosoknya—bersifat terbuka. Bagi pembaca setia, membaca satu berita, atau bahkan satu alinea berita saja, ia sudah bisa menebak apa yang dimaui dan ke mana arah yang dituju Kompas.
Redaksi Kompas menyelenggarakan rapat dua kali sehari, pagi dan sore. Pagi untuk mengevaluasi berita yang sudah terbit dan merencanakan berita esok hari, serta sore untuk menentukan berita mana dan dimuat di halaman berapa. Kedua rapat dipimpin redaktur pelaksana atau wakilnya. Pemred menyelia rapat dan mengambil keputusan manakala ada beda pandangan atau jika ada berita yang rumit.
Ada juga rapat mingguan serta rapat dalam desk. Tiap bulan ada pertemuan dengan Ombudsman (beranggotakan orang luar dari berbagai disiplin ilmu) untuk mengevaluasi dan memberikan masukan kepada Redaksi Kompas. Dalam liputan penting yang menuntut keberimbangan, konten Kompas dikontrol oleh Litbang Kompas dan Ombudsman Kompas.
Adapun sosok pemred, benar ia pemangku otoritas tertinggi di ruang redaksi. Namun, tidak berarti ia dapat sesuka hati menggunakan wewenang kepemredan.
Kondisi yang ada saat ini sudah berbeda dengan era ketika pendiri Kompas, Jakob Oetama, aktif memimpin. Sekarang, pada generasi kepemimpinan ketujuh, ciri egalitarian makin nyata, pemred atribut riil, tetapi sosoknya bersifat primus interpares (yang pertama dari yang setara).
Itulah faktanya. Tentu Kompas tidak menafikan adanya aspirasi politik perseorangan karena ini hak yang dihormati dalam negara demokrasi. Namun, kebijakan redaksi adalah koridor yang merupakan produk kolektif, yang terpisah dari kecondongan politik individu redaksi.
Lebih penting amanatnya
Pada era pasca-kebenaran (post truth), orang "memercayai apa yang ingin ia percayai". Jadi, penjelasan panjang-lebar tentang fakta yang sebenarnya dari soal di atas bisa saja masih kalah dengan persepsi yang dianut insan post truth.
Akan tetapi, percayalah, satu hal yang tetap menjadi jati diri Kompas adalah kecintaan kepada Tanah Air. Memajukan demokrasi menjadi salah satu menu, tetapi selebihnya adalah visi Indonesia bermasa depan gemilang yang menjadi dambaan kami. Kesadaran akan cinta Tanah Air, melalui berbagai ekspedisi ke pulau terluar, ikut membangunkan kesadaran akan hidup di Busur Cincin Api, terus menjadi suluh yang tak akan pernah padam. Kompas menawarkan melihat Indonesia dengan pendekatan berbeda, melihat dari gunung api, dari sungai, dari bawah laut, yang menjelma dalam sejumlah ekspedisi.
Kompas tahu diri. Justru pada masa ketika industri media diterpa badai, waktu menjadi prioritas membereskan dapur, dengan harapan Kompasmenjadi penyintas yang bisa jadi rujukan media di Tanah Air.
Bahwa hari ini Kompas berada dalam pusaran politik, hal ini sedikit pun tidak mengurangi komitmen Kompas terus membela kepentingan Republik. Dengan cara bagaimana? Kalau "independen" bukan slogan yang pas lagi, pilihan Kompas adalah "dengan cara kredibel" (bisa dipercaya).
Satu hal yang tetap menjadi jati diri Kompas adalah kecintaan kepada Tanah Air. Memajukan demokrasi menjadi salah satu menu, tetapi selebihnya adalah visi Indonesia bermasa depan gemilang yang menjadi dambaan kami.
Kompas bertekad menjadi suluh yang terus memandu bangsa mencapai cita-cita luhur menyambut 100 tahun Indonesia Merdeka dengan Visi 2045 yang kokoh. Inilah satu-satunya pilihan ketika kuasa besar di dunia sekarang sedang berlomba menjadi adidaya dalam kecerdasan buatan (AI), juga upaya menjadi pemenang dalam Revolusi Industri 4.0.
Dalam perspektif itulah kebersamaan dan persatuan kami pandang tidak kalah penting dibandingkan dengan kontestasi lima tahunan sekali, apalagi kalau dipenuhi dengan kabar tak benar. Kita tangkap gaung slogan harian Washington Post bahwa "Demokrasi akan mati dalam kegelapan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar