Dari paparan yang disampaikan Bank Indonesia (BI), ketersediaan likuiditas di pasar keuangan sebenarnya masih aman atau memadai (Kompas, 25/3/2019). Persoalannya, likuiditas ini cenderung terkonsentrasi di bank skala besar, khususnya kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV (modal di atas Rp 30 triliun) dan III (modal Rp 5 triliun-Rp 30 triliun). Sebaliknya, bank kecil yang ada di kelompok BUKU I dan II dengan modal di bawah Rp 5 triliun menghadapi tekanan likuiditas.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) berbincang bersama Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto dan Rosmaya Hadi (kanan) dalam konferensi pers seusai Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (21/3/2019). RDG Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 6,00 persen, suku bunga Deposito Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.

Hal ini tentu tak bisa dianggap sepele. Pengalaman selama ini, krisis perbankan umumnya selalu dimulai dari problem likuiditas. Adanya bank yang kesulitan likuiditas bisa memicu krisis kepercayaan dan dampak sistemik, seperti terjadi pada krisis 1998. Konsekuensi dari ketatnya likuiditas, bank akan berebut dana masyarakat (dana pihak ketiga/DPK) dengan menawarkan iming-iming suku bunga lebih tinggi sehingga berisiko memicu perang suku bunga.

Kondisi ini bisa membuat bank umum papan bawah dengan permodalan lemah dalam bahaya. Untuk mencegah, BI menempuh berbagai cara untuk melonggarkan likuiditas lewat bauran kebijakan, seperti operasi moneter atau makroprudensial. Dalam kurun waktu Desember 2018-Januari 2019, BI menggelontorkan Rp 195 triliun untuk menambah likuiditas.

Ketatnya likuiditas, antara lain, tecermin dari posisi rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) perbankan yang sudah di atas 92 persen atau di atas batas atas yang ditetapkan BI. Ini artinya perbankan sudah pada batas maksimalnya dalam melakukan ekspansi kredit.

Ketatnya likuiditas terjadi, antara lain, karena masih lambatnya pertumbuhan DPK, khususnya deposito perbankan dan juga akibat kenaikan suku bunga (khususnya di tengah tren naiknya suku bunga Amerika Serikat tahun lalu). Stabilnya bunga acuan BI saat ini dinilai tidak banyak menolong untuk memperlonggar likuiditas perbankan domestik.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Nasabah melakukan transaksi perbankan di BNI Digital Branch Gandaria City, Jakarta, Sabtu (16/03/2019). Layanan perbankan digital di pusat-pusat perbelanjaan yang tetap buka di akhir pekan ramai dikunjungi nasabah.

Ketatnya likuiditas juga disebabkan perbankan harus bersaing sengit dengan pemerintah dalam perebutan dana masyarakat melalui instrumen surat berharga yang diterbitkannya, terutama di tengah kebutuhan besar pemerintah untuk pembiayaan proyek infrastruktur. BI juga menyebut faktor musiman—seperti kebutuhan likuiditas tinggi untuk pembayaran pajak pada akhir Maret serta pembayaran pajak korporasi dan repatriasi dividen pada April—sebagai penyebab lain ketatnya likuiditas perbankan saat ini.

Kondisi ketatnya likuiditas, oleh sejumlah pengamat, juga dikaitkan dengan masih terlalu banyaknya jumlah bank serta masih terlalu konservatifnya perbankan karena mereka terlalu bergantung pada penghimpunan DPK untuk menopang likuiditasnya. Untuk itu, selain efisiensi dan konsolidasi, bank juga dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pembiayaan.

Ketatnya likuiditas perbankan ini menjadi kendala dalam penyaluran kredit sehingga bisa berdampak pada target pertumbuhan kredit yang diperkirakan masih akan seret pada 2019 dan pada gilirannya pada pergerakan roda ekonomi.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO