Banyak kalangan menyesalkan, perundingan denuklirisasi antara AS dan Korea Utara tak berbuah kesepakatan. Ada kesan, rumitnya diplomasi kurang diperhitungkan.
Kesan itulah yang muncul mengikuti perundingan selama dua hari antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Hanoi, Vietnam, 27-28 Februari lalu. Perbedaan pandangan soal pencabutan sanksi bagi Korut dan perlucutan fasilitas nuklir menjadi ganjalan tercapainya kesepakatan.
Seperti dilaporkan wartawan harian ini yang meliput langsung jalannya perundingan itu, Trump menyebutkan tidak bisa memenuhi tuntutan pencabutan seluruh sanksi bagi Korut sebagai imbalan penghentian fasilitas nuklir utama di Yongbyon. Padahal, AS juga meminta fasilitas nuklir Korut lainnya harus dilucuti.
Korea Utara, yang baru mengeluarkan pernyataan selepas Kamis tengah malam, mengungkapkan versi lain. Menurut Menlu Korut Ri Yong Ho, Korut menuntut pencabutan sebagian sanksi, yakni sanksi terkait kehidupan rakyat kecil, bukan yang terkait sanksi militer. Persisnya, sanksi Dewan Keamanan (DK) PBB yang dijatuhkan sejak Maret 2016.
DK PBB menjatuhkan hampir selusin resolusi sanksi bagi Korut. Negeri ini menjadi salah satu dari negara yang memikul sanksi paling berat di dunia. Kim Jong Un ingin Korut dibebaskan dari sanksi yang diputuskan setelah Maret 2016, meliputi antara lain pencabutan larangan perdagangan logam, bahan-bahan baku, barang mewah, hasil laut, ekspor batu bara, impor minyak olahan, dan impor mentah. Ia tidak menuntut pencabutan sanksi sebelum 2006 saat Korut pertama kali menguji coba senjata nuklirnya.
Tuntutan itu, menurut pejabat AS yang dikutip kantor berita Associated Press, sebenarnya diajukan Korut selama beberapa pekan dalam pembicaraan pejabat tingkat lebih rendah. Meski dinilai sangat besar—diperkirakan miliaran dollar AS dan dicurigai Washington bisa diselewengkan untuk mendanai program nuklir Pyongyang—tuntutan itu seharusnya diperhitungkan Trump dan delegasinya sebelum mereka tiba di Hanoi.
Kerumitan diplomasi mestinya juga sudah diantisipasi sejak dini. Ini memperlihatkan sekaligus keterbatasan diplomasi personal Trump dan gaya negosiasinya yang lebih menyukai pertemuan langsung dengan koleganya mitra perundingan. Lazimnya, dalam pertemuan puncak antarkepala negara, pemimpin baru hadir di meja perundingan ketika seluruh detail perbedaan diselesaikan pejabat level lebih rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar