Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap tindakan Suryadharma Ali—yang terlibat skandal korupsi dana haji—sebagai tindakan pribadi, bukan sebagai Ketua Umum PPP. Tindakan koruptif Setya Novanto (mantan Ketua Umum Golkar), Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), dan Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS) juga dilihat sebagai kejahatan pribadi, bukan sebagai ketua umum partai politik.
Keterlibatan langsung pucuk pimpinan partai politik (parpol) dalam teknis korupsi memperlihatkan adanya pendangkalan modus korupsi. Kalau tindakan Muhammad Romahurmuziy (MR) bersifat pribadi, operasi tangkap tangan (OTT) dan sekuen kegiatan selanjutnya hanya habituasi, rutinitas. Akan tetapi, kalau dianggap sebagai Ketua Umum PPP, OTT dan rangkaian kegiatan selanjutnya menjadi luar biasa, istimewa. Itu bisa menjadi pintu masuk bagi pemidanaan dan pembubaran parpol. Selanjutnya, bangsa ini akan dibawa pada satu pengalaman dan kapasitas baru: mengadili parpol.
Ulah koruptif parpol
Jejak indikatif parpol koruptif cukup jelas dalam beberapa skandal korupsi. Dalam pembacaan dakwaan terhadap Irman (mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri) serta Sugiharto (mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri), disebut ada dana hasil korupsi senilai miliaran rupiah yang mengalir ke berbagai parpol (Kompas, 10/2/2017).
Dalam kasus korupsi proyek pembangunan kompleks gedung olahraga Hambalang, jaksa dalam dakwaannya menyebut ada dana yang dipakai untuk membiayai kongres sebuah parpol di Bandung pada 2010. Baru-baru ini, sebuah parpol juga disebut terlibat dan menerima aliran dana kasus korupsi proyek pembangunan PLTU-1 Riau. Dalam kasus korupsi Gubernur Jambi Zumi Zola juga disebut ada parpol yang diduga menikmati aliran dana korupsi.
Koruptifnya parpol bukan hanya dalam menikmati dana hasil korupsi, melainkan mekanisme internalnya juga padat mengandung muatan "koruptif". Sudah jadi rahasia umum banyak parpol yang mempraktikkan jual-beli suara dalam proses pemilihan ketuanya, dimulai dari tingkat paling bawah sampai tertinggi. Praktik ini berlanjut dengan jual-beli tiket untuk pencalonan anggota legislatif, pemilihan kepala daerah, dan lain-lain, yang bermuara pada tingginya ongkos menjadi pejabat publik/negara.
Demi return on investment, tidak mengherankan kalau kemudian banyak pejabat publik/negara yang terlibat dalam jual-beli jabatan di tubuh birokrasi. Kasus jual-beli jabatan yang dilakukan Bupati Klaten Sri Hartini atau Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi, dan terakhir MR, hanya sedikit contoh dari modus yang sudah lama dan luas dipraktikkan sejumlah kepala daerah dan kementerian/lembaga. Tiga orang itu sedang apes saja sehingga tertangkap KPK.
Pendek kata, parpol itu berperan penting dalam mereproduksi tindakan koruptif dan regenerasi koruptor.
Model pembubaran parpol
Pemidanaan dan pembubaran parpol itu dua ranah berbeda. Pemidanaan parpol itu ranahnya penegak hukum. Adapun pembubaran parpol ranah Mahkamah Konstitusi (MK). Pada ranah penegakan hukum nantinya KPK bekerja. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi menjadi pedoman bagi KPK dalam memidanakan parpol yang terlibat korupsi. Dengan pengalaman, profesionalisme, dan integritasnya, KPK pasti bisa membuktikan kejahatan korupsi parpol.
Klausul Pasal 24C UUD 1945 memberikan mandat konstitusional kepada MK untuk memutus pembubaran parpol. Kemudian, kewenangan dan tata cara pembubaran parpol diturunkan lebih rinci pada UU tentang MK Pasal 68-73 dan Peraturan MK No 12/2008. Kendati parpol terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tidak serta-merta kasusnya masuk ke ranah pembubaran.
Ini bergantung pada sikap dan kemauan pemerintah. Kalau pemerintah memandang tindak pidana korupsi yang dilakukan parpol itu bertentangan dengan konstitusi, pemerintah bisa meneruskan langkahnya dengan mengajukan permohonan pembubaran parpol pada MK. Secara teknis, presiden bisa menunjuk Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, atau kementerian lain mengajukan pembubaran. Namun, pemerintah bisa saja berpandangan parpol tersebut tak perlu dibubarkan.
Tampaknya MK sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya pembubaran parpol di Tanah Air. Studi yang dilakukan Bisariyadi, peneliti MK, tentang "Penerapan Uji Proporsionalitas dalam Kasus Pembubaran Partai Politik: Sebuah Perbandingan", mengindikasikan MK sedang membangun pengetahuan dan pengalaman dari MK negara lain dalam pembubaran parpol.
Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari model pembubaran parpol ala Jerman, Turki, dan Korea Selatan. Di Turki, misalnya, dulu pembubaran parpol itu relatif mudah sehingga Turki dijuluki a legacy of political party closure. Sampai saat ini sudah 28 parpol yang dibubarkan MK Turki.
Pada 2014, MK Korea Selatan membubarkan Partai Persatuan Progresif. Bukan karena kejahatan korupsi, melainkan karena dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban negara. Parpol itu dinilai memiliki kedekatan dengan Korea Utara dan tujuan pembentukan partainya pun diarahkan untuk membentuk sosialisme ala Korea Utara.
Thailand juga punya pengalaman membubarkan parpol. Pada 2007, Partai Thai Rak Thai—kendaraan politik mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra—dibubarkan MK Thailand. Namun, pembubaran itu lebih karena ekses dan sekuen dari kudeta militer.
Peran Presiden dalam dua ranah
Ada beberapa tindakan ideal yang harus dilakukan Presiden dalam kedua ranah itu. Pertama, mendukung langkah KPK memidanakan parpol yang diduga terlibat praktik korupsi. Dukungan Presiden itu diperlihatkan dengan pernyataan terbuka kepada publik bahwa langkah ini penting untuk menjaga marwah konstitusi, merawat demokrasi, menegakkan kebenaran dan keadilan hukum, memulihkan hak-hak korban korupsi, serta mematikan impunitas parpol. Deklarasi ini penting untuk mendulang dukungan publik.
Kedua, Presiden mesti memastikan tidak ada obstruction of justice (merintangi penyidikan) dari DPR dan penegak hukum lain selama proses pemidanaan berlangsung. Pemidanaan parpol boleh jadi mengundang simpati dan solidaritas dari parpol lain sehingga secara kolektif mereka bekerja sama merintangi kerja-kerja KPK. Pengalaman menunjukkan tindakan ini sangat mungkin dilakukan DPR. Memori kolektif masyarakat masih mengingat dengan baik manuver politik DPR yang membentuk Pansus Hak Angket DPR tentang KPK. DPR berusaha menekan KPK yang sedang mengusut kasus korupsi KTP-el yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto.
Apabila mau, Presiden sebenarnya bisa mencegah pembentukan Pansus Hak Angket tentang KPK ini dari awal. Mayoritas anggota parlemen adalah anggota koalisi pendukung Presiden.
Ke depan, Presiden harus menggunakan pengaruh dan kontrol politiknya lebih efektif untuk menihilkan gangguan parlemen terhadap KPK dan proses pemidanaan parpol. Selain untuk memastikan lancar dan suksesnya pemidanaan parpol, langkah ini juga berpotensi mengefisienkan dan mengefektifkan penggunaan sumber daya. Berbulan-bulan pansus menghabiskan sumber daya (waktu dan anggaran) untuk hasil yang tak seberapa. Sementara kewajiban legislasinya terbengkalai. Sumber daya publik juga tergerus. Publik mencurahkan energi yang besar untuk melawan keinginan pansus. Padahal, energi itu bisa dipakai untuk mengerjakan isu lain yang lebih penting.
Ketiga, memimpin gerakan nasional pembaruan dan revitalisasi parpol. Intinya gerakan ini mencegah reproduksi tindakan koruptif dan regenerasi koruptor dalam tubuh partai sehingga marwah parpol meninggi. Gerakan ini harus memastikan tak ada lagi jual-beli suara dalam pemilihan pemimpin parpol pada berbagai tingkatan kepengurusan, jual-beli tiket pencalonan anggota legislatif serta kepala daerah, dan lain-lain. Gerakan ini bisa disinergikan dengan upaya KPK mengembangkan integritas parpol. Kombinasi inisiatif dari presiden dan KPK ini upaya preventif menghindari pemidanaan parpol.
Keempat, kendati kerangka normatif dan mekanisme pembubaran parpol sudah ada, dalam praktiknya sulit dilakukan. Di sini Presiden bersama-sama dengan lembaga yudikatif bisa berinisiatif serta memastikan adanya inovasi dan terobosan baru sehingga norma dan regulasi pembubaran parpol jadi lebih mudah serta sederhana tanpa mengorbankan prinsip fundamental dalam berdemokrasi, yaitu melindungi hak dan kebebasan berserikat. Mengadili parpol dengan prinsip proporsionalitas itu adalah menjaga keseimbangan melindungi kebebasan berserikat dengan kepentingan dan tujuan bernegara.
Kelima, di atas segalanya Presiden harus bisa mengamalkan kredo ini, "Kesetiaan pada partai politik berakhir manakala kesetiaan pada negara mengemuka". Sikap dan kemauan pemerintah mengajukan permohonan pembubaran parpol terkait dengan kepentingan politik. Mungkinkah Presiden memohon pembubaran parpol yang terbukti korup pada MK, sementara parpol itu pengusung dan kendaraan politiknya? Mungkin saja, tapi jelas tak mudah. Hanya Presiden dengan kualifikasi negarawan sejati bisa mengamalkan kredo itu.
Sejauh ini, calon presiden 01, yang juga petahana, sudah memperlihatkan sikap elegan dan terukur ketika merespons penangkapan dan penahanan MR. Ia, teman baik, pendukung dan pengusung pencalonannya.
Dedi Haryadi Staf Ahli Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi
Kompas, 8 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar