Di tengah gegap gempita kampanye di ruang publik ataupun di dunia maya, penting untuk disadari betapa pentingnya bangunan NKRI pasca-pemilu.

Republik sebagai negara-bangsa semakin kukuh atau sebaliknya? Republik semakin bersih dari korupsi atau sebaliknya? Republik semakin berdaya saing dengan negara lain atau sebaliknya? Apakah kabinet dan jabatan-jabatan strategis diisi politisi dan anggota tim sukses sebagai bagian dari politik transaksional?

Mata calon dan pendukung yang bertarung dalam pesta demokrasi kerap hanya tertuju pada momen pemilu. Orasi para calon kian berani, mempromosikan diri sendiri too good to be true, menyerang kompetitor too bad to be true, manifestasi kepanikan kalau tak terpilih. Barisan pendukung bahkan lebih bersemangat dan rela berjibaku. Segala cara yang tak mendidik pun dipakai untuk memengaruhi suara pemilih. Masa depan Republik urusan belakangan. Yang penting menang.

Panggung demokrasi
Itulah sebuah konsekuensi demokrasi. Panggung tersedia bagi siapa saja yang memenuhi syarat administratif untuk terlibat dalam kontestasi politik. Dari pemilu ke pemilu selalu muncul sosok politisi baru. Tadinya, mereka tak dikenal luas.

Berkat panggung politik, mereka lalu terkenal. Namun berbeda dari kontes biasa dengan dewan juri yang menilai kepantasan para kontestan, dalam kontes pemilu, rakyat langsung memilih dan jumlah suara mereka menentukan.

Alasan orang menjatuhkan pilihan sebenarnya subyektif, dari yang rasional sampai emosional. Namun, itulah daulat rakyat lima tahun sekali. Di hadapan rakyat, calon yang sebelumnya petahana berusaha memperlihatkan prestasi kerjanya sambil meyakinkan rakyat untuk memilihnya kembali. Calon penantang mengkritik kinerja petahana sambil meyakinkan rakyat bahwa dirinya lebih pantas untuk dipilih.

Apabila pilihan rakyat adalah sosok yang kompeten dan berintegritas, idealnya pemilu demi pemilu semakin membuat rakyat lebih sejahtera dan semakin menjauh dari garis kemiskinan. Itu kalau rakyat tidak hanya berdaulat lima tahun sekali, tetapi sepanjang lima tahun. Rakyat pun akan antusias menyambut pemilu (untuk) mereka.

Realitas yang sering terjadi adalah pemilu (untuk) elite. Panggung demokrasi sesak dengan para calon yang merasa sanggup memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, perasaan sanggup itu belum terbukti dengan penguasaan masalah sosial dan kenegaraan, keterampilan memformulasikan masalah, melakukan komunikasi, bernegosiasi dengan pemangku kepentingan politik.

Terlalu banyak calon dadakan tanpa rekam jejak kenegarawanan. Bermodalkan popularitas, nama orangtua yang mantan pejabat, dukungan finansial, atau niat baik saja, mereka mencoba peruntungan untuk terjun ke dunia politik.

Bisa dibayangkan seperti apa Republik pasca-pemilu apabila dikuasai sekelompok orang yang sebagian besar tak tahu bagaimana mengurus negara. Mereka akan lebih setia sebagai petugas partai daripada sebagai abdi bangsa.

Idealnya, orang yang menjadi bagian dari pengurus negara menguasai seluk-beluk ketatanegaraan dan karena itu per definisi disebut negarawan. Agar perjalanan negara semakin mendekati cita-cita awal bernegara, para penyelenggara negara seharusnya memiliki watak pejuang.

Gigih memperjuangkan kepentingan rakyat. Siap berkorban. Berintegritas. Watak pejuang seperti itu idealnya sudah terlihat dalam keseharian yang bersangkutan. Apabila calon yang kompeten dan berintegritas terpilih, pasti nyata karyanya bagi bangsa.

Koreksi demokrasi
Sejak era reformasi dan otonomi daerah, Republik sudah melahirkan banyak politisi lokal maupun nasional. Namun, tak banyak daerah yang mengalami kebangkitan sehingga naik ke pentas nasional. Kebangkitan nasional pun terbilang lambat untuk naik ke pentas global.

Negara-negara lain di Asia sudah menyalip kita dengan industrialisasi dan pembangunan sumber daya manusia. India yang PDB (2018) per kapitanya 1,5 kali lebih kecil daripada kita kini sudah jadi penguasa ruang angkasa bersama-sama AS, Rusia, dan China.

Pemilu sejatinya sebuah momentum rakyat untuk mengoreksi perjalanan demokrasi yang sempat dibajak politisi oportunis, yang mendekati rakyat menjelang pemilu, tetapi setelah terpilih, menjauhi rakyat.

Yang lebih menyakitkan, mereka berkonspirasi dengan pejabat untuk membajak jatah kesejahteraan yang sebenarnya hak rakyat. Jiwa mereka lebih miskin daripada rakyat miskin.

Pemilu sejatinya kesempatan rakyat untuk menghukum yang tak berprestasi dan mengapresiasi yang berprestasi. Itulah artinya kita memakai hak pilih secara rasional. Akan selalu ada usaha memanipulasi suara rakyat. Politik disruptif dimainkan politisi oportunis agar rakyat memilih lebih karena alasan emosional daripada rasional. Dan, suka atau tidak, pemilu memang domain daulat rakyat.

Republik pasca-pemilu lima tahun ke depan, bahkan mungkin dengan efek lebih panjang, bergantung pada rasionalitas pilihan rakyat hari ini. A country deserves its leaders. Apabila negara dikelola dengan profesional, kebijakan politik berkualitas, minim kebocoran anggaran, benefit terbesar akan dinikmati rakyat. Negara pun ada untuk rakyat, bukan rakyat untuk negara.

Siapa pun presiden terpilih, perjalanan demokrasi kita seharusnya semakin mendekatkan negara kepada cita-cita awal bernegara. Republik pasca-pemilu harus kuat dan dikelola orang-orang yang paham mengurus negara. Politik balas budi mengkhianati kepercayaan rakyat. Oposisi juga perlu berkualitas dan kuat, tak mudah terkooptasi kepentingan korupsi eksekutif.

Pemilu hanya sebuah pesta demokrasi, sebuah ritual politik lima tahun sekali. Proses mencoblos kurang dari lima menit di bilik suara. Mengapa pula seusai pesta itu persaudaraan sebangsa setanah air dikorbankan?

Selanjutnya lima tahun ke depan, kita yang berbeda pilihan politik harus bisa bergandengan tangan untuk mengusahakan kesejahteraan kota dan negeri bersama-sama mereka yang terpilih. Kubu-kubuan tidak relevan lagi.

Kita tidak boleh gagal move on untuk bersatu mengusahakan kesejahteraan kota dan negeri kita. Urusan kita semua adalah kesejahteraan bersama. Kita harus menjaga kedewasaan berbangsa agar buah-buah demokrasi yang kita petik nantinya ranum dan mendatangkan rasa syukur kepada Tuhan.