Mengapa Pemilu Israel dicermati, padahal tak ada relasi diplomatik negara itu dengan Indonesia? Saat Pemilu Israel digelar, perhatian kita tertuju pada nasib Palestina.
Perhatian pada nasib dan masa depan bangsa Palestina menjadi salah satu pilar kebijakan luar negeri Pemerintah RI. Tak bisa dimungkiri kenyataan pahit yang sampai sekarang terjadi bahwa nasib dan masa depan Palestina tak lepas dari situasi di Israel.
Solusi dua negara, suatu formula penyelesaian konflik Palestina-Israel yang diterima mayoritas komunitas internasional dan menjadi pintu berdirinya negara Palestina, terancam oleh berbagai tindakan pemerintahan Israel.
Kemenangan kubu kanan, yang dimotori oleh Partai Likud pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dalam Pemilu Israel, 9 April lalu, memberikan sinyal kelabu bagi prospek perdamaian Palestina-Israel. Seperti diberitakan harian ini, Kamis (11/4/2019), Netanyahu sedang menapak jalan menuju takhta perdana menteri periode kelima.
Meski hanya meraih 35 kursi di parlemen (Knesset), Likud sudah memiliki suara cukup untuk membentuk pemerintahan melalui koalisi dengan partai-partai kanan berhaluan agama dan nasionalis. Koalisi gabungan mereka memiliki 65 kursi dari 120 kursi Knesset.
Satu ganjalannya, teka-teki apakah Partai Yisrael Beiteinu (5 kursi) pimpinan Avigdor Lieberman, mantan menteri pertahanan, masih mau bergabung dengan koalisi Netanyahu. Tahun lalu, Lieberman keluar dari koalisi karena berselisih soal isu gencatan senjata di Jalur Gaza.
Andaikata jalur koalisi partai kanan itu buntu, Netanyahu masih memiliki opsi membentuk pemerintahan dengan merangkul koalisi Biru-Putih (35 kursi) pimpinan Benny Gantz.
Meski jalur ini agak berliku karena melibatkan Presiden Reuven Rivlin—sebagai pemberi mandat—untuk berkonsultasi dengan partai-partai politik lainnya, posisi Netanyahu tetap di atas angin untuk kembali memimpin Israel.
Karena itu, sangat bisa dipahami jika hasil Pemilu Israel ini disambut dengan kekecewaan, sekaligus kekhawatiran, oleh banyak kalangan di Palestina. "Israel telah memilih status quo, penindasan, aneksasi, dan penyerobotan," kata Hanan Ashrawi, pejabat senior Palestina, yang dikutip koran ini.
Apa pun bentuk koalisi di pemerintahan Israel nanti, selama masih dipimpin Netanyahu, buahnya adalah agenda-agenda garis keras yang bakal memupus prospek solusi dua negara.
Dengan kemenangan ini, Netanyahu bakal makin merajalela menekan Palestina lewat kebijakan-kebijakannya. Apalagi, ia didukung total oleh sekutu utama, Donald Trump, Presiden AS paling pro-Israel. Setelah Jerusalem diklaim sepihak sebagai ibu kota Israel, kini Tepi Barat terancam dianeksasi Israel.
Dalam situasi seperti ini, wajar jika sejumlah kalangan di Palestina dan Arab meminta bantuan masyarakat internasional untuk menghentikan proyek pendudukan Israel atas wilayah Palestina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar