Satu lagi langkah tegas KPK yang layak diapresiasi dan diacungi jempol. Dalam waktu dekat, KPK bakal mengumumkan daftar nama anggota DPR (yang mencalonkan kembali), yang hingga batas waktu, 31 Maret 2019, tidak melaporkan harta kekayaannya.
Dari sejumlah 556 anggota DPR yang wajib lapor kekayaan, baru 273 anggota (49,1 persen) yang telah memenuhi kewajiban menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sementara untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang jumlahnya 133 orang, 97 orang (73 persen) telah melapor. Dari 17.526 anggota DPRD kota/kabupaten seluruh Indonesia, baru 49,91 persen menyerahkan LHKPN. Menurut KPK, tidak diserahkannya LHKPN hingga batas waktu menjadi indikator ketidaktaatan terhadap aturan bersama.
Keengganan para anggota dewan yang terhormat itu memicu dugaan ada sesuatu yang disembunyikan. Bahkan, KPK dengan lugas mengatakan, karena hal ini, publik layak mempertanyakan integritas para anggota dewan dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Menurut saya, ada dua hal mengapa mereka belum menyampaikan laporan kekayaan. Pertama, kesibukan persiapan diri menjelang pemilu. Namun, alasan ini mudah dipatahkan karena sebagai anggota dewan mereka seharusnya sudah tahu aturan dan kewajiban itu.
Kedua, sebagaimana diungkapkan KPK, seperti yang dipersepsikan masyarakat selama ini, dapat diduga mereka relatif "tidak bersih" sebagai anggota dewan. Sehingga ada kekhawatiran boroknya bakal terbongkar ketika laporan keuangannya diaudit.
Integritas adalah kata kunci mengapa korupsi tetap marak di negeri ini. Biaya politik tinggi untuk mengongkosi kontestasi pilkada ataupun pemilu—meski bukan alasan yang pantas—diduga ikut memicu korupsi. Yang pasti, kejujuran sudah raib.
Untuk itu, dalam kontestasi pemilu serentak 17 April 2019, masyarakat harus semakin arif dan cerdas dalam memilih wakil-wakilnya di parlemen.
Kita tunggu hasil pemaparan KPK dalam waktu dekat, agar kita bisa memilih sosok-sosok caleg yang masih berpijak pada moral, bukan sekadar tenar.
Budi Sartono Soetiardjo
Graha Bukit Raya, Cilame, Bandung Barat
Kecewa Bank
Saya nasabah CIMB Niaga sejak 6 September 1989. Pada 29 Maret 2019, saya ke cabang CIMB Niaga di Menara Standard Chartered, Jakarta.
Sehari sebelumnya, saya meminta dibuatkan bank reference untuk aplikasi visa dengan pesan, semua rekening saya dicantumkan.
Saat mengambil, ada satu rekening belum tercantum. Layanan pelanggan (CS) menyanggupi perbaikan dan akan selesai hari itu juga.
Namun, ada satu kesalahan lagi: terketik saya nasabah sejak 10 Maret 2000. Padahal, di bank reference yang pernah dibuat 17 Oktober 2014 ditulis 29 September 1989.
Saya meminta itu juga diperbaiki, tetapi ditolak oleh CS. Ia perlihatkan yang tercantum di komputer, 10 Maret 2000. Lalu saya tunjukkan bukti fotokopi bank reference XIV/CS-REF/AMJ/X/2014, dengan kop surat CIMB Niaga, bertanggal 17 Oktober 2014.
Saya berkeras 1989 karena saya sudah menjadi nasabah sejak Cabang Bank Niaga masih ada di kampus Atma Jaya. Namun, menurut CS acuannya yang tertera di komputer.
Mengapa bisa berubah? Mengapa dua surat resmi dengan kop CIMB Niaga 2014 dan 2019 bisa berbeda dalam mencatat data historis saya? Menurut CS, ini karena ada pergantian sistem komputer.
Saya meminta berbicara dengan manajer, tetapi jawabannya sama. Ia lalu, atas nama bank, meminta maaf.
Kembali ke perbaikan nomor rekening yang belum tercantum, surat ternyata tidak bisa selesai hari itu juga karena salah satu manajer yang tanda tangan sudah pulang.
B Kaswanti Purwo
Unika Atma Jaya
Kompas, 10 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar