KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
04-12-2018

Sejak September 2018, tanda-tanda resesi di Amerika Serikat sudah mulai terlihat dengan makin menyempitnya selisih antara imbal jasa obligasi pemerintah AS jangka pendek dengan jangka panjang. Ketika imbal hasil jangka pendek obligasi pemerintah AS  lebih tinggi dari imbal hasil jangka panjang, maka terjadilah yang disebut inverted yield curve sebagai tanda ketidakpastian yang semakin tinggi.

Hal ini, antara lain, karena Bank sentral AS dianggap terlalu terburu-buru menaikkan suku bunga acuannya. Persilangan ini terjadi pada 4 Desember 2018. Peristiwa ini merupakan yang pertama kali sejak 2007, yang tahun berikutnya terjadi krisis keuangan global.

Apakah sejarah akan terulang lagi? Situasinya lebih rumit dari sekadar menjawab ya atau tidak. Sampai saat ini, indikator-indikator ekonomi seperti indikator peringatan dini, penggunaan kapasitas terpasang, dan inflasi masih baik. Bahkan, angka pengangguran terakhir pada Februari 2019 sebesar 3,8 persen atau turun dari 4 persen pada bulan sebelumnya. Anomali ini ditambah dengan perang dagang yang menimbulkan kebingungan bagi pemodal internasional, apakah mereka harus dalam posisi jual, beli, atau bertahan. Hal ini tercermin dari harga-harga saham di AS yang sejak November 2018 bergerak secara erratic. Optimisme dan pesimisme datang silih berganti dalam rentang waktu pendek.

Indeks harga saham DOW Industrial Average (DIA), misalnya, bergerak turun ketika pada Februari 2019 tersiar kabar China mencapai pertumbuhan ekonomi terendah dalam 20 tahun terakhir (6,6 persen), sehingga secara terbuka mengundang keprihatinan 150 ekonom mumpuni dunia. Kemudian perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa pertumbuhan global diperkirakan hanya 3,6 persen per tahun -lebih rendah dari 3,7 persen yang diperkirakan semula- juga turut menambah tekanan jual. Optimisme kembali bangkit saat dalam pertemuannya yang terakhir, Bank Sentral AS memutuskan tidak menaikkan suku bunga acuan. Hal ini menggairahkan pasar saham AS dan memperkuat indikator kesempatan kerja yang pada Maret 2019 mencatat penambahan non-farm payroll employment sebesar 196.000 orang.

Selain penurunan pertumbuhan ekonomi China, pada saat yang sama perang dagang juga membawa korban lain. Dalam setahun terakhir, tingkat kebangkrutan di sektor pertanian AS meningkat karena China menghentikan atau mengurangi pembelian komoditas pertanian AS. Hal ini membuat defisit neraca perdagangan AS pada 2018 mencapai 621 milyar dollar AS atau yang tertinggi sejak 2008. Sebuah ironi, defisit tersebut juga terjadi akibat pengenaan tarif pada produk-produk China yang justru mendorong korporasi AS untuk menimbun barang-barang input industri yang dibutuhkan industri manufaktur, sebelum tanggal penetapan tarif diberlakukan.

Dampak bagi Indonesia 
Model standar Mundell-Fleming dengan rezim nilai tukar mengambang memprediksi, ketika Bank Sentral AS menaikkan suku bunga pada 22 Maret 2018, maka modal jangka pendek akan keluar dari negara asal (Indonesia). Mengikuti ekspektasi ke depan, nilai tukar rupiah yang pada Februari berkisar Rp 13.400 per dollar AS, terdepresiasi hingga Rp 13.700 per dollar AS dan terus memlemah. Secara teoritis, hal ini akan mendorong ekspor negara asal sehingga neraca pembayaran (neraca berjalan plus neraca modal) akan membaik.

Kerangka berpikir di atas hanya setengahnya saja benar karena ekspor Indonesia sudah melambat sejak triwulan III-2017 terkena imbas perang dagang. Sementara itu, impor tidak dapat serta-merta melambat karena industri dalam negeri dan kegiatan pembangunan dalam negeri membutuhkan impor bahan baku/barang setengah jadi, barang modal, dan bahan bakar minyak. Akibatnya, pada 2018 defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai 8,57 miliar dollar AS.

Kendati demikian, prospek resesi di AS, perang dagang AS-China, Brexit, dan berbagai hal lain tampaknya mengingatkan kembali pemodal internasional untuk mendiversifikasi risiko investasi di negara-negara industri dan negara-negara emerging markets yang berprospek baik. Indonesia masuk dalam radar karena perbaikan yang terus menerus, walaupun masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Dalam 4 tahun terakhir, Indonesia sudah menunjukkan banyak kemajuan, mulai dari indeks kemudahan berbisnis, indeks performa logistik, rasio gini yang menurun, angka kemiskinan yang turun, dan sebagainya.

Aliran modal yang mulai kembali pada umumnya bermain di jangka panjang karena fluktuasi rupiah masih tinggi. Akibatnya, sejak November 2018, nilai tukar rupiah kembali pada kisaran Rp 14.000 per dollar AS, meskipun neraca perdagangan Indonesia baru kembali surplus pada Februari 2019. Situasi ini membuka jendela kesempatan bagi Indonesia untuk terus memperbaiki daya saing perekonomiannya, memperbaiki kapasitas produksi nasional, serta menggunakan potensi permintaan dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan dan kesempatan kerja di tengah kondisi eksternal yang masih tidak menentu. Aliran modal hanyalah jendela yang dapat membuka dan menutup tanpa peringatan terlebih dahulu. Usaha-usaha untuk mencari pasar ekspor baru, naik kelas ekspor sehingga tidak tergantung siklus bisnis komoditas, memperkuat industri subsitusi impor input untuk industri, dan pengembangan ekspor jasa -termasuk pariwisata- tetap harus dilakukan.

Di penghujung Maret 2019, AS dan China mulai menyadari perang dagang hanya akan membawa kerugian bersama. Mereka bergegas mencapai kesepakatan. Hal ini merupakan angin segar bagi ekspor Indonesia. Peluang baru juga timbul dari perang dagang ini. Dalam kunjungan ke Kendal Industrial Park (KIP) di Jawa Tengah, rantai pasok dari industri teknologi tinggi di China mulai melakukan diversifikasi risiko dengan mencari lokasi baru di negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Indonesia.

Zaman sudah berubah. Saat ini jika gajah AS dan gajah China -yang sama-sama bingung- berkelahi, maka pelanduk tidak perlu ikut-ikutan bingung supaya tidak terjepit di tengah-tengah.

ARI KUNCORO