Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 06 April 2019

Nasib Kelenteng Tua//Mari Kita Bersatu//KPK dan Pembalakan Liar (Surat Pembaca Kompas)


Nasib Kelenteng Tua

Nama kelenteng untuk rumah ibadah umat Tridharma hanya disebut di Indonesia. Ratusan tahun silam pada awalnya kelenteng dibangun migran Tionghoa sebagai tanda syukur kepada Dewi Samudra yang menyelamatkan perahu Jung, saat mengarungi Laut China Selatan yang ganas hingga kemudian mendarat di kota pesisir Nusantara.

Kelenteng dibangun dengan arsitektur tradisional China yang antik, megah, dan penuh ornamen ukiran berseni. Kelenteng berfungsi pula untuk kegiatan sosial.

Sejak Orde Baru tumbang, terjadi kebiasaan agak unik: umat berduit cenderung menggunakan lilin berukuran 1 meter lebih, berharga jutaan rupiah, untuk sembahyang dan dinyalakan terus berhari-hari, siang dan malam.

Demi mencegah risiko kebakaran yang akan memusnahkan benda cagar budaya, kebiasaan baru itu pernah dikecam mantan Kepala Dinas Tata Kota dan Pemugaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta WP Zhong yang, kebetulan, merupakan satu-satunya pegawai negeri sipil beragama Khonghucu.

Akibat pengurus kelenteng kurang peduli memelihara gedung tua ataupun mencegah kebakaran oleh lilin dan kabel listrik yang sudah kedaluwarsa, dalam lima tahun terakhir terjadi musibah kebakaran lima kelenteng tua bersejarah, terutama akibat lilin: Ho Bong Bio, 1784, Banyuwangi (13/6/2014); Liong Hok Bio, 1864, Magelang (16/7/2014); Jin De Yuan, 1650, Jakarta Kota (2/3/2015); Hiao Thian Kong, 1885, Bandung (5/2/2019); dan Rumah Abu Kong Tek Su, 1845, Semarang, (21/3/2019).

Kejadian-kejadian di atas jangan terulang lagi. Kita wajib bersama-sama menyelamatkan warisan dan benda cagar budaya. Pengurus yayasan kelenteng harus berbenah diri. Kami imbau pula Ditjen Agama Buddha-Khonghucu, dinas pariwisata, dinas tata kota-pemugaran, organisasi PSMTI, dan INTI segera turun tangan.

Hendra Lukito Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Mari Kita Bersatu

Tanggal 17 April 2019 tinggal beberapa hari. Itulah saat yang menentukan bagi bangsa ini ke depan. Pilihan presiden dan wakil presiden mendominasi pembicaraan di semua lapisan masyarakat. Menyenangkan karena kepedulian masyarakat terhadap politik makin masif. Namun, mengkhawatirkan dan menyeramkan karena potensi pertikaian dua kubu kian menganga.

Kedua kubu, baik 01 maupun 02, sama-sama warga negara Indonesia. Rumah kita, Indonesia, beragam penduduk dan kebiasaan. Agama berbeda-beda, keyakinan berbeda- beda, suku dan adat istiadat berbeda-beda; semua semestinya menjadi satu dalam bingkai Indonesia.

Kenapa dengan pilpres yang lima tahun sekali saja kita terbelah? Istilah "perang" dibesar-besarkan. Memandang  kubu sebelah seakan-akan musuh yang harus dilumat demi kemenangan, padahal rumah kita itu Indonesia. Mari kembali ke hati nurani  yang jernih bahwa #rumahkitaindonesia.

SRI HANDOKO Tugurejo, Semarang

KPK dan Pembalakan Liar

Saya heran pembalakan hutan sering dilaporkan Kompas dalam beberapa tahun terakhir, tetapi justru makin marak di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. KPK harus turun tangan karena negara kehilangan uang dalam skala besar.

Ini adalah korupsi korporasi yang harus diberantas dari hulu (tempat hutan dibalak liar) sampai hilir (pembeli kayu curian di Jawa). Jika tidak, dunia akan mengecam Indonesia sebagai perusak hutan tropisnya, termasuk untuk memperluas perkebunan sawit.

Kita sedang gugat Uni Eropa tentang minyak sawit ke WTO, tetapi maraknya pembalakan kayu liar ini seperti iklan negatif bahwa kita merusak hutan.

Suyadi Prawiro S Selakopi. Bogor, Jawa Barat

Kompas, 6 April 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger