Pengeluaran anggaran pendidikan publik tak berkorelasi positif dengan mutu pendidik- an. Beberapa survei pendidikan menunjuk- kan bahwa negara yang mengeluarkan dana besar bagi layanan pendidikannya tak senantiasa dibarengi mutu pendidikan yang tinggi pula.

Bagaimana anggaran pendidikan digunakan lebih berpengaruh ketimbang besar dananya. Penurunan gaji guru secara tajam di Pakistan 1990-an dan peningkatan gaji guru di Indonesia tahun 2005, misalnya, ternyata sama- sama tak memberikan pengaruh berarti (The Economist, 15/11/2018).

Pada 12 Maret 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengutarakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih belum sepadan dengan dana yang telah dikeluarkan. Padahal, menurut dia, anggaran sebesar Rp 492,55 triliun telah disediakan bagi pendidikan. "Kami kecewa karena beberapa lulusan bahkan tidak sampai ke tingkat yang kami harapkan," kata Menkeu. "Jadi, ada anggarannya, tetapi masih ada masalah penggunaannya secara efektif."

Karena itu, dapat dipahami bahwa permasalahan ada dalam penggunaan anggaran pendidikan. Walau jumlah anggaran pendidikan memang terbatas, dengan jumlah sebesar itu pun hasilnya masih belum memadai. Jika demikian, strategi apa yang mungkin dilakukan oleh pemerintah mendatang guna mengatasi keadaan ini?

Kemenduniaan kecakapan
Tulisan ini berpijak pada pemahaman pokok bahwa ilmu pengetahuan, setidaknya seperti sains, teknologi, dan matematika, dengan keterampilannya yang terkait, bersifat mendunia.

Karena itu, strategi perbaikan sampai buku ajar sains, teknologi, dan matematika bermutu baik sesungguhnya sudah tersedia di dunia dan ini harus dimanfaatkan negara. Pemahaman ini bukan saja akan menghemat anggaran, melainkan juga sekaligus segera mengangkat mutu pendidikan tepat sasaran ke taraf dunia.

Dengan dunia yang kian nirbatas dan teknologi serta sains yang semakin menguasai kehidupan, apakah kecakapan masih bersifat lokal? Apakah kecakapan yang perlu dikuasai pelajar di Manado berbeda dengan kawannya di Madrid?

Jawabannya tentu tak sederhana, tetapi kecakapan yang sifatnya mendunia semakin hari semakin bertambah banyak. Kecakapan seperti memecahkan masalah kompleks, berkomunikasi, atau berpikir kritis bersifat mendunia.

Sebaliknya, kecakapan yang sifatnya lokal, seperti menghargai dan mengembangkan budaya daerah, memang semakin dirasa penting, tetapi kecakapan ini sekarang dibingkai dalam kerangka kecakapan global juga, seperti belajar hidup bersama atau memahami keberagaman kebudayaan dunia.

Untuk itu, tak aneh jika beberapa organisasi dunia sudah sejak lebih dari dua dekade lampau mengajukan rangkaian kecakapan yang sifatnya mendunia.

Misalnya, UNESCO melalui dokumen pentingnya Learning: the treasure within; report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first Century mencanangkan empat pilar belajar (belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar hidup bersama, dan belajar mewujudkan diri)  sebagai kecakapan untuk abad ke-21 (Delors et al, 1996).

Beberapa inisiatif internasional ataupun nasional, seperti melalui APEC, OECD, SCANS, Common Core State Standards, Partnership for 21st Century Learning, Project 2061, dan lainnya turut merumuskan rangkaian kecakapan untuk kehidupan masa kini dan esok.

Perumusan kecakapan global ini penting dikaji karena sesungguhnya tidak saja menentukan visi pendidikan semua negara, tetapi juga berdampak teknis sampai pada argumen penggunaan anggaran pendidikan.

Khususnya, sekarang, wajar dipertanyakan apakah tiap negara tak sebaiknya mengadopsi atau berangkat dari rangkaian kecakapan global yang sudah dirumuskan lewat berbagai inisiatif tadi saja, kemudian memodifikasinya agar sesuai dengan negaranya.

Lalu, apakah rancangan pembelajaran Matematika serta IPA dari standar, kurikulum, ujian, sampai buku ajarnya memang perlu benar-benar berbeda dari satu negara ke negara lain? Terlepas dari bahasa, penamaan, istilah, dan ilustrasi dalam kehidupan yang memang spesifik, apakah pelajaran Matematika, IPA, dan Teknologi di New York berbeda dengan di New Delhi?

Fokus perbaikan
Dengan beberapa disiplin keilmuan yang sifatnya mendunia bahkan menyemesta, negara sepantasnya tak perlu memboroskan dana, yang terbatas, guna menyiapkan dokumen standar, kurikulum, sampai membuat buku ajar dari benar-benar nol.

Anggaran pendidikan dapat dialihfokuskan pada bidang-bidang yang memang benar-benar membutuhkan untuk dibiayai, seperti program penyiapan guru, peningkatan kecakapan mengajar guru, dan pelengkapan fasilitas belajar.

Memang terkadang muncul keengganan penggunaan bahan ajar dari negara lain. Kadang ada pihak yang berargumen bahwa buku ajar, bahkan seperti Matematika dan IPA, tak ada yang cocok dengan pengajaran bahkan kurikulum di Indonesia. Justru sesungguhnya dari situ perlu dipertanyakan, mengapa pelajaran Matematika atau IPA di Indonesia sampai harus berbeda dengan di negara-negara lain? Bukankah keengganan tadi sebuah penanda serius ada kemungkinan bahan ajar Matematika yang diberikan melalui persekolahan di Indonesia sampai detik ini terjebak pada kebiasaan masa lalu atau bahkan bisa jadi sudah tak sesuai dengan di negara-negara lain?

Penentu kebijakan anggaran pendidikan ke depan perlu menuntut argumen yang masuk akal guna menjamin bahwa bahan ajar yang disiapkan, setidaknya untuk disiplin universal, memang lebih baik daripada bahan ajar yang sudah ada di dunia.

Sebaliknya, jika buku ajar yang dibuat memang bermutu lebih rendah atau bahkan berisi sejumlah kesalahan, tak boleh dan tak ada alasan sedikit pun untuk digunakan oleh anak Indonesia.

Negara harus yakin bahwa bahan ajar yang digunakan guru dan pelajar tak mengandung kesalahan. Negara harus yakin bahwa buku ajar yang digunakan di pendidikan publik memiliki mutu setidaknya setaraf dengan buku ajar yang sudah tersedia di dunia.

Sementara untuk bahan ajar keilmuan yang memang bersifat nasional atau lokal, seperti Kewarganegaraan atau Bahasa Ibu (Bahasa Daerah), mau tak mau negara harus merancang bahan ajar sendiri.

Namun, ini juga tak berarti pelajaran yang bersifat nasional atau lokal tak terkait dengan pelajaran serupa di negara lain. Pasti ada pemahaman bersama antarnegara, seperti cara pandang nasionalisme paling mutakhir yang dapat dimanfaatkan.

Cara berpikir itu dapat diterapkan juga untuk sistem pengujian, yakni pembuatan bahan yang diujikan berangkat dan dikembangkan dari bahan ujian untuk mengukur kecakapan global.

Langkah di atas sejalan dengan upaya penyiapan buku ajar alternatif yang sudah dijajaki Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI. Buku ajar itu dikembangkan dari sebuah negara sahabat. Ini perlu dimanfaatkan sekolah dan pelajar, sekaligus buku alternatif ini akan meninggikan benchmark mutu perbukuajaran di Indonesia agar lebih baik.

Kemudian, penyiapan bahan ajar tak perlu seluruhnya sekaligus. Tahap pertama, disiapkan bahan ajar kelas I, IV, VII, X. Tahap kedua, kelas II, V, VIII, XI. Tahap ketiga, kelas III, VI, IX, XII. Maka setelah tiga tahun, seluruh kelas telah memiliki buku ajar baru. Selain itu, perlu fokus pada beberapa bidang pelajaran saja dan secara bertahap, tak perlu keseluruhan pelajaran sekaligus seperti yang sudah-sudah.

Upaya perbaikan
Dalam lima tahun mendatang, perlu direncanakan perbaikan pembelajaran dengan fokus pada kecakapan tertentu, misalnya, pada pengasahan kecakapan bernalar, berkomunikasi (membaca, menulis, mendengar, dan berbicara), dan menyelesaikan masalah.

Upaya perbaikan juga perlu difokuskan pada sekolah-sekolah yang kekurangan guru di daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau. Khususnya, perlu difokuskan upaya pembenahan proses pembelajaran di sekolah-sekolah yang ada di pulau-pulau kecil jauh terasing serta di pedalaman yang berfasilitas kurang.

Perlu ditinggalkan pula cara pelatihan guru sebelumnya, seperti mengumpulkan dan menceramahi guru di hotel di perkotaan. Cara kuno seperti ini kurang efektif dan boros. Juga, dengan cara ini, guru yang bertugas di daerah terpencil harus meninggalkan muridnya.

Para guru dapat belajar meningkatkan metode mengajarnya melalui penyiaran potongan video lima menitan yang praktis, langsung, dan disebarkan mingguan lewat aplikasi komunikasi sederhana di ponsel seperti WhatsApp, Line, atau lainnya. Bahkan, potongan video mungkin disampaikan dengan bahasa ibu yang akan lebih efektif.

Dengan menanggalkan asumsi sekolah memiliki guru yang lengkap, fokus dapat diarahkan pada peningkatan pembelajaran dengan mengupayakan dukungan fasilitas belajar yang bermutu tinggi.

Penyediaan pembelajaran interaktif yang dapat dijalankan dengan komputer yang ditanam di tembok sekolah, misalnya, menggunakan tablet (sabak digital), atau platform alternatif yang sederhana serta murah. Sistem ini harus dirancang sejak awal untuk di luar jaringan (luring) sehingga tak tergantung infrastruktur internet.

Hari ini bahan pembelajaran interaktif sudah dikembangkan dengan baik dan tersedia bebas. Untuk bidang matematika dan IPA, misalnya, banyak modul pembelajaran bahkan buku ajar yang sudah dikembangkan berbagai forum internasional tersedia bebas.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat fokus memperbaiki proses pembelajaran di sekolah dengan menanggalkan asumsi lama bahwa gurunya lengkap. Sebaliknya, justru perlu dijajaki perancangan lingkungan belajar yang memungkinkan anak sekolah belajar dengan swakelola, walau mungkin tanpa guru. Studi untuk ini sudah ada, misalnya dapat merujuk ke gagasan SOLE (Self Organized Learning Environment).

Sekolah ideal tentunya tetap yang memiliki jajaran guru lengkap. Tulisan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa guru sudah tak perlu, justru penyiapan guru dan pembinaan guru semakin penting dan perlu dilaksanakan dengan lebih saksama. Namun, upaya penyiapan guru membutuhkan waktu tak singkat.

Sementara anak-anak sekolah di daerah terpencil tak punya waktu untuk menunggu kesiapan guru-guru tersebut. Anak-anak ini perlu mengalami proses belajar bermutu sekarang juga.

Jika negara memang belum sanggup menyediakan guru paling kompeten, setidaknya anak-anak ini didukung dengan fasilitas belajar yang paling baik yang ada di dunia. Pelajar di daerah dapat dan harus menjalani pengalaman belajar yang terbaik yang paling mungkin sekarang juga. Tak dapat ditunda lagi.

Seharusnya upaya perbaikan di atas yang hemat anggaran, tepat sasaran, terukur, dan mudah dilaksanakan menarik untuk dijajaki. Juga gagasan di atas menunjukkan bahwa upaya perbaikan pendidikan di Indonesia dapat dikerjakan, bahkan tak terlalu sulit, bukan sesuatu yang mustahil.