KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Pengguna gawai dengan mudahnya memberikan komentar di media sosial.

Media sosial telah menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dari realitas kehidupan kita. Begitu dahsyat dampak media sosial sehingga dirasakan perlu diatur.

Media sosial mendapat sorotan tajam, terutama karena terkait pada dua hal. Pertama, media sosial selama ini dapat menjadi sumber berita bohong atau hoaks. Menjelang pemilihan umum di sejumlah negara, misalnya, berita bohong di media sosial disadari menjadi sumber ancaman karena dapat merusak demokrasi serta menghancurkan hubungan antarwarga masyarakat.

Kedua, media sosial disorot tajam karena sangat efektif untuk menyebarluaskan tayangan kekerasan. Tidak hanya dalam bentuk rekaman video, aksi kekerasan dengan mudah dipancarkan secara langsung (live) lewat media sosial.

Dua hal tersebut mempertegas pandangan bahwa apa pun pencapaian teknologi yang diraih manusia selalu ada sisi gelap yang menyertainya. Kemajuan teknologi komunikasi dan informatika yang mendorong kemunculan media sosial kini membuat manusia menghadapi problem besar berupa penyebarluasan berita bohong yang memecah belah serta amplifikasi kekerasan secara mudah dan masif.

Pada titik itulah berbagai kalangan menyadari, suka atau tidak suka, media sosial harus diatur lebih ketat. Hanya dengan cara itu sisi gelap dari kemajuan teknologi dapat dikurangi semaksimal mungkin.

Upaya pengaturan media sosial dilakukan konkret oleh Australia. Sebagaimana ditulis harian ini, Jumat (5/4/2019), parlemen Australia, Kamis silam, mengesahkan undang-undang (UU) yang mengatur penghentian tayangan video bernuansa kekerasan serta mengerikan di media sosial.

UU ini menetapkan hukuman bagi perusahaan penyedia layanan media sosial dan situs internet atas konten kekerasan yang tak segera dihapus. Mereka bisa dikenai denda 10 persen dari pendapatan global serta hukuman penjara tiga tahun bagi pejabat eksekutifnya.

Regulasi ini muncul setelah terjadi pembunuhan 50 warga yang sedang menunaikan shalat Jumat di kota Christchurch, Selandia Baru, bulan lalu. Pelaku yang berasal dari Australia menyebarluaskan penembakan yang dilakukannya melalui media sosial. Kekerasan mengerikan itu kemudian dengan mudah disebarluaskan di grup-grup percakapan.

Upaya pengelola media sosial untuk segera menurunkan tayangan kekerasan di Christchurch tak langsung berhasil. Dalam situasi tersebut, dapat dipahami, regulasi yang dikeluarkan parlemen Australia bertujuan mendorong perusahaan pengelola media sosial semaksimal mungkin memantau konten dan secepat-cepatnya menghapus unggahan yang mengandung unsur kekerasan mengerikan.