Hari masih terlalu pagi, menurut saya, ketika kami memulai pertemuan pada pukul 08.30. Tetapi, hal itu menjadi tak masalah karena setelah rapat, cerita teman saya yang miris itu seperti kopi yang mampu membuat kepala tak terasa berat dan mata tak terlelap.
Anakku malang
Teman saya itu bercerita bahwa beberapa temannya tak mencintai anaknya. Bahkan, kehadiran anak-anak di rumah membuat jadwal kehidupan mereka terganggu. Itu mengapa mereka menyuruh anak-anaknya untuk kursus segala rupa agar anak dapat berada di luar rumah dan ibunya dapat melakukan aktivitas tanpa terganggu dengan anak-anaknya.
Setelah pertemuan itu selesai, saya melanjutkan perjalanan untuk makan siang rawon dengkul. Di dalam taksi yang membawa saya ke rumah makan yang lumayan jauh itu, saya teringat akan beberapa cerita di mana orangtua menyalahkan atau memuji kelahiran anaknya.
Ada cerita sepasang suami istri yang sering berantem saat istrinya sedang hamil. Kemudian setelah lahir, orangtua menganggap anaknya pembawa sial. Di sisi lain, ada yang menganggap anaknya pemberi keberuntungan, karena semasa kehamilan, orangtuanya menjadi kaya raya.
Sejujurnya saya jengkel sekali kalau mengingat cerita itu. Bagaimana ada orangtua berpikir untuk menghubungkan ketidakwarasannya berpikir dengan anak yang masih di dalam kandungan? Kalau Anda sebagai orangtua berkelahi, atau menjadi kaya, itu karena ulah dan usaha Anda sendiri.
Bayi dalam kandungan tak mampu membuat orangtua jadi berantem. Itu memang sikap orangtua yang tak berani mengakui bahwa mereka memang bertabiat buruk. Tak ada bayi dalam kandungan dapat memberi saran tentang proyeksi keuangan atau mengusulkan strategi bisnis pada orangtuanya.
Ia tak bisa mengajarkan orangtuanya menghitung pajak dan balance sheet. Itu pinter-pinternya orangtua mencari uang dengan cara menipu atau memang benar-benar menjadi pengusaha ulung. Saya berpikir dengan cara berpikir demikian, maka orangtua melahirkan anaknya ke dunia dengan kebencian atau dengan kebahagiaan yang sangat.
Saya tak tahu apakah anak yang dilahirkan dari kebencian menjadi bengis di suatu saat atau malah menjadi mandiri, dan anak yang dilahirkan karena pujian akan menjadi manja dan selalu merasa paling benar. Sungguh saya tak tahu.
Waras dan tak waras
Beberapa hari setelah itu, saya menyaksikan tayangan sebuah video di media sosial. Seorang ibu mengusir keluar anaknya dari mobil dan berniat untuk meninggalkannya di tepi jalan.
Melihat tayangan itu saya bingung. Bagaimana ada seorang ibu yang tega untuk tidak mencintai anak-anaknya? Bukankah mereka lahir dari rahimnya sendiri?
Saya tak tahu sama sekali rasanya menjadi ibu. Saya tak punya rahim, saya tak tahu rasanya hamil selama sekian bulan dengan segala risikonya. Saya tak tahu bagaimana kesalnya mungkin, kalau punya anak. Karena waktu saya menjadi anak pun, saya tak bisa membayangkan betapa kesalnya ibu saya.
Bertahun lamanya harus mendidik, mengayomi, mengajar ini dan itu. Dan berlangsung belasan tahun lamanya. Sungguh saya tak tahu rasanya, saya hanya bisa membayangkan betapa lama dan melelahkannya pekerjaan itu bagi seorang ibu.
Saya juga tak tahu besarnya kekesalan seorang ibu, sehingga seorang ibu mampu untuk membuang anak-anaknya, untuk tidak mengasihi anak-anaknya. Untuk merasa tak bersalah tak memedulikan kehidupan anak-anaknya. Untuk merasa terganggu akan kehadiran anak-anaknya di dalam rumah.
Pada saat saya bersantap di rumah makan rawon dengkul bersama dua teman, kami bercakap-cakap mengenai banyak hal. Maka sampailah kepada cerita soal bagaimana seorang ibu yang juga seorang profesional, tak peduli dengan kehidupan anaknya yang dilahirkan dari hubungan gelapnya.
Saya telah banyak kali mendengar bahwa seorang ibu atau orangtua akan selalu berjuang untuk sesuatu yang terbaik untuk anak-anaknya. Saya sudah acap kali mendengar bahwa betapa anak-anak dapat melahirkan kejengkelan yang sangat, tetapi toh orangtua tak mungkin mengusirnya, betapapun kesalnya sudah sampai ke ubun-ubun.
Saya juga tak mengerti ada orangtua yang memutuskan hubungan darah dagingnya, ada yang menjual dan meniduri anaknya sendiri dengan sejuta alasan yang masuk akal orangtua, dan tetap tak masuk akal di otak saya.
Mungkin karena otak saya jongkok, jadi hal-hal seperti itu tak bisa saya jangkau untuk dimengerti, termasuk bagaimana seorang ibu mempunyai ketegaan yang sangat untuk mampu meninggalkan anak tak hanya di tepi jalan, tapi juga bayinya di tong sampah seperti yang saya dengar ketika mengunjungi sebuah panti asuhan.
Mungkin menjadi orangtua itu membutuhkan kekuatan untuk menghadapi tantangan, memiliki kematangan pribadi dan kesehatan jiwa. Bukan hanya sekadar menikah dan melahirkan. Alangkah egoisnya ketika orangtua tak siap, anak yang menjadi sasaran.
Hujan turun dengan derasnya pada sore hari ketika saya hampir menyelesaikan tulisan ini. Saya jadi berpikir di dunia ini memang selalu ada dua hal yang ekstrem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar