REUTERS / PHILIPPE WOJAZER / FILE FOTO

Khalifa Haftar, komandan militer yang mendominasi Libya timur, tiba untuk menghadiri konferensi internasional tentang Libya di Istana Elysee di Paris, Prancis, 29 Mei 2018. Hari Sabtu (6/4/2019) pasukan Haftar berhasil mennguasi bandara utama di Tripoli, ibu kota Libya.

Perdana Menteri Libya Fayez al-Sarraj bersumpah untuk mempertahankan Tripoli dari pasukan pemberontak pimpinan Jenderal Khalifa Haftar.

Sarraj menuduh Haftar melakukan kudeta. Dua hari setelah Haftar merebut kantor pemerintahan Libya yang didukung PBB, Sabtu (6/4/2019) pasukan Haftar berhasil mengontrol bandara utama di Tripoli, ibu kota Libya. Awal tahun ini, pasukan Haftar merebut lapangan minyak di selatan Libya.

Pasukan pemberontak melakukan serangan ke Tripoli pada Kamis (4/4) dari arah selatan dan barat. Namun, pasukan pemerintah berhasil menahan akselerasi pasukan Haftar.

Tak hanya itu, kepada Sekjen PBB Antonio Guterres yang sedang berkunjung ke Libya, Jumat (5/4), Haftar mengatakan, serangan ke Tripoli baru akan dihentikan jika pasukannya berhasil mengalahkan teroris.

Sarraj menegaskan, Haftar telah melakukan kudeta pada pemerintah yang dibentuk dan diakui PBB itu. "Kami telah mengulurkan tangan untuk perdamaian, sebaliknya Haftar malah melakukan kudeta," katanya.

Libya merupakan salah satu negara yang ikut tergilas akibat revolusi musim semi Arab. Memang, pemerintahan Khadafy yang berkuasa selama 40 tahun dapat ditumbangkan, tetapi sampai sekarang kondisi Libya terpecah.

Upaya menciptakan perdamaian digelar banyak pihak. Pada akhir Mei 2018, Perancis menggelar pertemuan empat pihak yang bertikai di Paris. Mereka adalah PM Sarraj, pemimpin tentara nasional Libya, Jenderal Haftar, Ketua DPR yang berbasis di Tobruk, Aghela Saleh, serta Ketua Dewan Tinggi Negara yang berbasis di Tripoli, Khaled Mishri.

Namun, sampai pasukan pemberontak menyerang Tripoli, Libya terpecah dalam dua kendali: Sarraj yang menguasai wilayah barat, dan Haftar di wilayah timur. Muncul spekulasi bahwa serangan Haftar ke Tripoli dilakukan setelah Haftar bertemu Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz.

Selama ini, Raja Salman tidak pernah mau bertemu dengan Sarraj meskipun mereka sama-sama hadir pada KTT Arab di Tunis. Ini memunculkan spekulasi bahwa Raja Salman mendukung serangan Haftar ke Tripoli.

Masih belum jelas apakah serangan ke Tripoli merupakan unjuk kekuatan Haftar atau murni hanya ingin menguasai seluruh wilayah Libya. Masyarakat internasional prihatin dengan kondisi Libya.

Berbicara di Mesir, Menlu Rusia Sergey Lavrov mengingatkan terhadap apa yang disebutnya sebagai campur tangan asing di Libya, tanpa menyebut negara mana pun. Menlu Mesir Sameh Shoukry mengatakan, masalah Libya tak dapat diselesaikan dengan cara militer.