Pemerintah Indonesia dan Malaysia secara resmi telah menyampaikan keberatan terhadap rencana larangan Uni Eropa atas produk sawit (Kompas, 9/4/2019).
Keberatan disampaikan menyusul larangan penggunaan sawit oleh UE. Larangan itu sendiri sejalan dengan kebijakan Komisi Eropa (EC) yang akan meningkatkan pangsa energi terbarukan di UE menjadi 32 persen pada 2030. Untuk itu, secara bertahap penggunaan sawit sebagai sumber energi terbarukan akan dibatasi hingga nol persen pada 2030.
Kebijakan Komisi Eropa ini di satu sisi menjadi gambaran dari kebuntuan diplomasi sawit yang ditempuh Indonesia selama ini. Selama puluhan tahun, negara-negara maju, khususnya AS dan UE, dengan dukungan LSM seperti Greenpeace, melancarkan gelombang kampanye negatif terhadap sawit. Sawit, antara lain, dituding sebagai pemicu deforestasi dan pemanasan global, berdampak buruk pada kesehatan, menggunakan buruh anak, dan tak memenuhi kualifikasi biofuel.
Namun, kalangan industri sawit melihat ada persaingan bisnis di balik kampanye negatif ini, terutama karena sawit menjadi ancaman akan produk minyak nabati dari negara maju, baik untuk kebutuhan pangan maupun bahan bakar.
Langkah diplomasi dan advokasi di berbagai forum yang ditempuh Pemerintah RI selama ini, termasuk untuk memasukkan sawit sebagai produk ramah lingkungan, menemui kegagalan karena diganjal negara maju. Kebuntuan ini barangkali yang kemudian membuat Indonesia dan Malaysia menyampaikan keberatan dan membawa kasusnya ke WTO.
Indonesia tak boleh menyerah dalam diplomasi dan negosiasi sawit karena kepentingan nasional yang dipertaruhkan sangat besar. Kita tidak saja produsen terbesar sawit yang menyumbang 45 persen produksi dunia, tetapi sawit juga salah satu penyumbang devisa ekspor terbesar Indonesia dan menjadi gantungan hidup 20 juta lebih petani, meliputi 7,5 juta pekerja langsung dan 12,5 juta pekerja tidak langsung.
Larangan terhadap sawit di pasar tujuan utama, seperti UE, akan berdampak masif secara sosial ekonomi dan juga pada capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Indonesia, khususnya pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Menghadapi diskriminasi terhadap komoditas sawit yang dilancarkan negara-negara maju ini, diplomasi lebih proaktif dan agresif tingkat tinggi perlu ditempuh.
Negara produsen sawit harus solid melakukan kontra narasi guna mematahkan tudingan negatif terhadap sawit dan mempromosikan berbagai langkah yang sudah ditempuh untuk menjamin praktik budidaya sawit yang sustainable. Sebagai warga dunia yang baik, forum negosiasi dan banding multilateral seperti WTO menjadi pilihan untuk ditempuh, sebelum menempuh langkah seperti retaliasi dengan menghentikan impor barang-barang dari negara-negara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar