KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Ribuan umat Islam bersiap mengikuti Sholat Idul Fitri di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Jumat (17/7/2015).

Akhir Mei, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Aceh melaksanakan diskusi "Pelayanan Sosial untuk Kerukunan Umat Beragama".

Diskusi ini menjadi refleksi terkait penguatan nilai-nilai inklusi sosial, perlindungan terhadap minoritas, serta penguatan perdamaian berkelanjutan pascatsunami dan konflik di Aceh. Lakpesdam NU Aceh memang intensif membangun aksi kolaboratif dengan kelompok minoritas dan rentan, seperti komunitas Tionghoa, non-Muslim, dan disabilitas.

Program telah berhasil menginisiasi kampung-kampung kerukunan di Banda Aceh—yang dikenal sebagai segitiga berlian pluralisme dan multikulturalisme—yaitu Kampung Mulia, Peunayong, dan Laksana. Komposisi etnis, budaya, dan agama ketiga kampung menggambarkan keberagaman sejati. Rumah ibadah non-Muslim berdiri kokoh di tengah komunitas Muslim yang menjalankan syariat Islam.

Praksis, bukan normatif

Hal penting lain yang bisa dibaca secara kultural dari fenomena di atas ialah nilai-nilai keislaman hidup dalam praksis kehidupan sosial-kemasyarakatan di Aceh, bukan semata normatif. Ini juga menjadi eksemplar Banda Aceh yang menjadi ikon dengan sejarah panjang yang telah berumur 814 tahun pada 22 April lalu.

Beberapa tahun lalu, penulis meriset genealogi keberagaman di Banda Aceh. Hasilnya memperlihatkan bahwa komunitas Tionghoa telah menjadi bagian dari masyarakat Aceh sejak abad ke-13 dan menebal pada abad ke-19 sehingga terbentuk Kampoeng Tjina, Peunayong. Nama Peunayong merupakan berkah apropriasi linguistik lokal karena dalam bahasa Mandarin atau bahasa lokal etnis Tionghoa tidak ditemukan diksi tersebut.

Di sisi lain, sebelum konflik dan tsunami menghantam Aceh, keberagaman antar-etnis, seperti Tamil, Khek, Hokkian, Bengal, Malabar, Gujarat, Jawa, Batak, Ambon, dan Minang, hidup rukun dalam ekonomi-sosial-budaya. Islam di Aceh—dalam istilah Thomas dan Alexander (2013)—tumbuh dalam semangat revitalisasi tradisi dan agama. Ia mampu merespons perubahan dengan sikap inklusif dan berani. Tidak paranoid dan lemah jiwa.

Dari sana baru penulis sadari, kampung lahir penulis, Kampung Mulia, telah menjadi "benteng perlindungan" bagi rumah ibadah agama lain selama puluhan tahun. Berdiri tiga wihara dan tiga gereja Protestan di sana. Kemilau ini adalah imajinasi identitas positif yang sukar dicari padanannya.

Meskipun secara ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi kampung ini biasa-biasa saja, secara historis-kultural ia bisa disebut sebagai juara dalam mengelola keberagaman tanpa pernah ada cacat berarti (Teuku Kemal Fasya, "Keberagaman", Kompas, 31/12/2016).

Sisi kokoh ini harus lebih ditonjolkan bahwa Islam berwajah damai yang penuh toleran. NU pun dikenal sebagai ormas Islam yang terus mempromosikan semangat inklusivitas dalam lingkaran keislaman (islamiyan), kemanusiaan (basyariyan), dan kebangsaan (wathaniyan). Jargon pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari, hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman), menjadi wujud hadih madja (perkataan bijak) yang merelungi bangsa ini secara spiritual.

Saudara dan tetangga

Memang tak disangkal, pascareformasi muncul anomali dari Islam politik atau "Islam garis keras" yang sempat dimunculkan Mahfud MD. Namun, fenomena itu harus dilihat secara adil. Munculnya pengerasan identitas atas dasar agama melampaui semangat kebangsaan—dalam istilah Oliver Roy imagined identities (2006)—harus disikapi dengan jalan mempertebal pembuluh toleransi kita kepada seluruh umat. Komunitas minoritas dan non-Muslim adalah saudara dan tetangga yang harus dilindungi secara sosial, moral, dan konstitusional.

Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud, Nabi Muhammad menegaskan, "Siapa yang menzalimi seorang kafir mu'ahad, merendahkannya, membebaninya melampaui batas atau mengambil sesuatu tanpa mereka rida, maka Saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat." Begitu kerasnya ancaman bagi mereka yang menyakiti kelompok non-Muslim mu'ahadah atau warga sipil yang berpegang pada panji kedamaian.

Landasan konseptual lain yang termaktub pada hadis itu (mafhum mukhalafah) ialah kepada umat non-Muslim saja dilarang memunculkan pertikaian, apalagi di antara Muslim yang berbeda mazhab atau pandangan. Dalam konteks Indonesia, mu'ahadah atau common denominator adalah Pancasila. Semua kelompok iman dan mazhab boleh hidup sepanjang tak bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi.

Pertanyaannya, seberapa batasan toleransi diberlakukan? Toleransi adalah kata sifat sekaligus kata kerja, harus dimaknai sejauh-jauhnya dan seluas-luasnya batasannya. Secara Islam, hanya berbagi keyakinan saja yang dibatasi. Di luar itu, termasuk bekerja sama secara ekonomi dan politik (ta'awun), bersikap seimbang secara kultural (tawazun), serta berempati dan tepa selira pada konsep teologi lain (tasammuh) sangat dianjurkan.

Satu-satunya yang bisa membatasi semangat toleransi ialah intoleransi; sesuatu yang tercederai karena hilangnya sikap adil kepada orang lain. Keadilan adalah kata yang terkunci kata toleransi. Ia akan terburai ketika salah satunya gagal menjadi buhul atau simpul. Seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia, "Seorang terpelajar harus juga berlaku adil, bahkan sejak dalam pikiran." Pikiran adalah mahkota manusia yang harus dijabarkan dalam jubah perilaku.

Kontradiktif

Maka, jika dikaitkan kasus kekerasan di Masjid Al Fitrah, Banda Aceh, Kamis (13/6), yang menolak kehadiran Ustaz Firanda Andirja yang dituduh Wahabi, hal ini tak dibenarkan menurut adab Islam dan kontradiktif dengan semangat ahlussunnah wal jamaah (Aswaja).

Hasil bahtsul masail Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Agustus 2015, menyebutkan ciri Aswaja yang otentik adalah tawassuth, ta'adul, dan tawazun. Artinya, NU sebagai garda terdepan yang menginternalisasi nilai-nilai Aswaja di Nusantara mengedepankan cara-cara moderat, anti-kekerasan, dan toleransi dalam menyelesaikan perselisihan, termasuk isu sektarian. Memilih cara ekstrem, apalagi dengan kekerasan, adalah bersikap zalim dan tidak adil kepada pihak lain.

Hanya dengan bersikap toleran dan belajar berlaku adil, bangsa ini bisa besar di tengah kemajemukan yang kompleks.

Teuku Kemal Fasya Dosen Universitas Malikussaleh, Dewan Pakar PWNU Aceh

Kompas, 19 Juni 2019