Dari segi politik-sosial-kebudayaan, begitu menurut Lev, Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat paling kompleks di seluruh dunia (B Tulus Wardaya, Membangun Republik, 2017).

Dua pertanyaan problematik yang diajukan Lev adalah bagaimana mengatur kompleksitas itu sedemikian rupa tanpa kehilangan bangunan dasar sosietas yang disepakati bersama dan siapa yang paling diuntungkan dari kondisi itu.

Dalam konteks mutakhir, sengketa hasil pemilu merupakan butir narasi faktual betapa kompleksitas keindonesiaan itu tak terbantahkan (Kompas, 14/6). Saya tidak tertarik dengan isu-isu gugatan yang disampaikan. Jauh lebih krusial adalah betapa residu sosiologis yang ditinggalkan hajatan demokrasi tempo hari secara substantif membuat luka-luka sosial yang menganga.

Beberapa contoh relevan bisa ditemukan secara acak. Sebuah dusun di lereng Merapi, yang tempo hari ingar-bingar mengklaim diri sebagai kawasan pasangan calon tertentu, sekarang tampak inferior dan skrupel(scrupulosity) dalam menyetor kohesi vertikal. Mereka nyaris bergerak mengapling-ngapling makam secara eksklusif dan ikut-ikutan menolak pendatang yang tidak sealiran masuk menjadi bagian dari dusun tersebut. Anak-anak kecil di daerah lain, yang semangat menonton rombongan barisan kampanye, meneriakkan kata "kafir" dan "boneka" pada kelompok partai tertentu. Pengubuan terlihat sengit dalam permainan kelompok harian setelahnya.

Aneka sampel lain pastilah tidak sulit ditemukan. Konon, satu-dua orang kesulitan promosi jabatan karena pos-pos strategis struktural telah dikuasai orang-orang dari partai tertentu.

Dosa asal

Proses rekonsiliasi pada level struktural tampaknya selalu lebih sulit dibandingkan dengan level akar rumput. Sengketa hukum tidak hanya terjadi pada pasca-pemilu ini, tetapi juga lima tahun lalu. Konflik antarelite politik ternyata jauh lebih langgeng daripada konflik massa di tingkat bawah.

Bahkan, bisa disimpulkan bahwa dari pengalaman puluhan tahun, bukankah kalau yang suka ribut itu memang elite politik daripada masyarakat umum? Masyarakat umum, sebut saja massa, "hanyalah" dipakai sebagai alat untuk suatu ideologi para elite politik.

Kategori pertarungan politik sebetulnya tidak lebih sebagai pertarungan para elite politik dalam mengusung massa, membenturkan mereka satu sama lain demi ideologi-kontingen mereka. Sebaliknya, ideologi permanen yang hidup dalam masyarakat umum level akar rumput adalah harmoni sosial.

Khusus masyarakat lereng Merapi, begitu pemilu usai, mereka tidak sempat berselisih paham sengit atau berkepanjangan karena sudah harus nyadran alias ziarah kubur menjelang bulan puasa. Tradisi tersebut sangat efektif dalam menyatukan dan mengembalikan kebersamaan yang sempat terbelah oleh pilihan-pilihan politik.

Kisah kecil ini tentu terjadi di pelbagai tempat lain, dengan segala bentuk dan intensitas yang berbeda. Yang pasti, ada suatu dosa asal dalam setiap kursi struktural sehingga yang seharusnya membawa kemaslahatan publik ujung-ujungnya malah menjadi sumber problem sosial yang konstan. Namanya politik, selalu merupakan gabungan dari filosofi dan fulusofi, antara ideologi dan modal kapital (fulus: uang).

Kembali pada pertanyaan Lev tentang siapa yang diuntungkan, ternyata pihak-pihak yang berteriak di barisan depan menjadi pihak yang paling dirugikan. Sementara pihak-pihak yang menggerakkan secara masif dan sistematis menjadi pihak yang paling diuntungkan. Tampak jelas pihak mana yang sekadar "dimanfaatkan" dan pihak mana yang "menunggangi".

Hitungan politis soal siapa yang diuntungkan hanyalah satu cangkang dari keuntungan multidimensional yang didapatkan oleh (ke)Indonesia(an). Jelaslah bahwa pemilu terakhir merupakan pesta demokrasi paling intens sepanjang perhelatan pemilu selama ini. Politik identitas begitu dominan, menimbulkan kecemasan dalam tingkat parah.

Namun, lagi-lagi tipikal sirkular masyarakat Indonesia di sisi lain menjadi berkah bawaan (original blessing) sehingga potensi keterpecahan masyarakat bangsa tidak terjadi. Rasa-perasaan sebagai keluarga besar masih efektif sebagai sintaksis keindonesiaan.

Kejahatan politik

Kerugian sosiologis yang ditimbulkan dalam bentuk residu-residu sosial memang harus diakui ada dan terjadi. Namun, ikatan geografis sebagai bagian dari keindonesiaan tetap tidak terbantahkan. Keberadaan fisik di bumi Indonesia yang sedemikian heterogen tidak bisa diingkari oleh ikatan emosional atas nama eksklusivitas primordial tertentu, sungguhpun politik telah memorak-porandakan bangunan tersebut. Politik justru tampak begitu jahat karena tampil sebagai suatu bentuk kejahatan sempurna (perfect crime) terhadap kohesivitas sosial selama ini.

Sekalipun pemilu telah membawa kerugian-kerugian masif dan sistematis terhadap keindonesiaan, kalkulasi keuntungan tetap lebih banyak. Meski di ujung satu, sekelompok primordial atas nama politik identitas diuntungkan dengan semakin banyaknya pos strategis di level struktural yang dikuasai; di ujung lain, secara diametral keuntungan ideologal sebagai saudara sebumi tetap tumbuh subur dengan sendirinya.

Adalah karakter sirkular dalam masyarakat Indonesia yang menjadikan demikian. Ibarat jungkat-jungkit, ketika satu ujung ditekan, ujung satunya pastilah otomatis ikut terbawa dan menjalankan ekuilibriumnya.

Kita sudah telanjur Indonesia. Jadi, mau apa lagi?