Walau kedua pemain besar di Indonesia, Go-Jek dan Grab, masih belum akan melakukan IPO dalam waktu dekat, pasar mempertanyakan apakah perusahaan transportasi berbasis aplikasi (online) bisa memperoleh keuntungan secara berkesinambungan (sustainable) atau hanya akan terus menjalankan strategi "membakar uang" atau "jual rugi" untuk menguasai pangsa pasar? Rasa penasaran tersebut dapat dimaklumi karena menurut dokumen publik S-1 Uber yang disampaikan kepada Securities and Exchange Commission (SEC), Uber membukukan kerugian operasional 3 miliar dollar AS pada tahun 2018 dan 4 miliar dollar AS pada 2017. FactSet juga memprediksi Uber akan tetap merugi hingga 2,14 miliar dollar AS pada 2019.
Di Indonesia, kedua pemain besar transportasi berbasis aplikasi belum ada yang mengklaim telah meraup keuntungan karena keduanya masih berfokus pada pengembangan bisnis dengan cara mengumpulkan modal dan "membakar uang" melalui promosi dan diskon harga yang agresif. Tidak ada yang salah dalam menggunakan dana investasi untuk pemasaran, tetapi jika dilakukan terus-menerus dapat berujung pada praktik predatory atau persaingan yang bertujuan untuk mematikan pesaing.
Strategi "predatory" untuk dominasi pasar
Di transportasi berbasis aplikasi, Kementerian Perhubungan sudah mengatur larangan promosi di bawah tarif batas bawah pada taksi online melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 118 Tahun 2018 guna mencegah taktik predatoroleh perusahaan berbungkus promosi, sayangnya belum ada aturan promosi yang serupa untuk ojek berbasis aplikasi.
Praktik predator umumnya muncul jika salah satu pihak yang didukung oleh permodalan sangat besar memiliki market power lebih besar daripada pesaing, yaitu kemampuan untuk mendikte harga yang berlaku di pasar. Mengutip CB Insights, saat ini valuasi perusahaan Malaysia Grab berada di kisaran 14 miliar dollar AS dengan gelontoran terbesar datang dari investor raksasa Jepang, yaitu Softbank, sedangkan Go-Jek berada di kisaran 10 miliar dollar AS.
Posisi Grab yang mempunyai modal lebih besar membuatnya lebih leluasa menggelontorkan berbagai program promosi untuk mencapai dominasi pasar. Menurut Henny Sender dalam Channel News Asia, Masayoshi Son, CEO Softbank, percaya terhadap prinsip the winner takes all di dalam bisnis internet.
Hal ini berarti, Softbank sebagai investor terbesar Grab akan terus menggelontorkan modal hingga menjadi pemenang satu-satunya dan semua lawan gulung tikar. Dalam perspektif ini, pihak yang kalah adalah siapa pun yang kehabisan modal terlebih dahulu, bukan yang mempunyai model bisnis atau kemampuan eksekusi yang lebih buruk (tidak efisien).
Ketika hanya ada satu pemain di industri, pemain tunggal dapat menggunakan kekuatan monopolinya yang berpotensi merugikan konsumen dan pemasok dalam rantai nilai. Seperti yang diungkap oleh otoritas persaingan Singapura, Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS), saat Grab menjadi monopoli di Singapura, CCCS menerima komplain dari mitra pengemudi tentang kenaikan tingkat komisi yang diambil oleh aplikator dari penghasilan pengemudi (driver). Grab juga memberlakukan kewajiban ekslusivitas (exclusivity obligations) kepada perusahaan taksi, perusahaan sewa mobil dan mitra pengemudinya. CCCS akhirnya menjatuhkan denda lebih dari Rp 140 miliar kepada Grab.
Di negara lain, otoritas persaingan Filipina, yaitu Philippine Competition Commission (PCC) juga menemukan bahwa sejak Grab menjadi pemain dominan di Filipina, perusahaan itu gagal menjaga persaingan sehat pada harga, promosi pelanggan, insentif pengemudi, dan kualitas layanan, sehingga berakhir pada denda dari PCC Rp 4 miliar.
Mengingat bahaya dari penguasaan pasar dari praktik jual rugi, kita tidak dapat terus memanjakan keinginan konsumen yang selalu ingin mendapatkan promo dengan tarif semurah-murahnya. Pemerintah harus segera melerai perang di transportasi berbasis aplikasi ini dengan menetapkan aturan main bagi kedua pesaing. Misalnya, dengan mengambil tindakan preventif, seperti penerapan aturan pembatasan promo agar tidak dijadikan kedok dari praktik predatory pricing yang bertujuan untuk mematikan pesaing.
Korban promo dan diskon agresif
Korban pertama dari perang tarif dan promo di industri transportasi berbasis aplikasi adalah kesejahteraan pengemudi akibat penurunan pendapatan yang disebabkan oleh penurunan permintaan. Jika perang tarif dan promo tidak diatur, pemain yang mempunyai modal yang lebih banyak akan lebih leluasa untuk terus menyubsidi harga layanan di bawah tarif batas bawah sehingga dapat mengurangi permintaan (demand) akan pengemudi di aplikator dengan modal yang lebih rendah.
Selanjutnya, kecenderungan jual rugi melalui perang promo dan tarif oleh dua aplikator raksasa di Indonesia menciptakan halangan (entry barrier) untuk masuknya pemain baru atau menghambat pertumbuhan pemain baru atau usaha rintisan (startup) di industri transportasi berbasis aplikasi, kecuali mereka memiliki modal sebesar petahana. Padahal, kita mengetahui bahwa Indonesia tidak kekurangan pemain baru yang ingin menantang para pemain lama, seperti Bonceng, Ladyjek, Blujek, dan Anterin.
Korban terakhir yang paling tidak kasatmata justru konsumen. Walaupun promo pemasaran yang agresif menggiurkan dalam jangka pendek, keuntungan tersebut menjadi tidak berarti saat harga murah tersebut disertai dengan kualitas layanan yang rendah.
Hal ini merupakan dampak yang sulit dihindari karena perang promo sebenarnya memangkas keuntungan yang diperoleh aplikator sehingga ujungnya mengurangi investasi bagi layanan konsumen.
Mengantisipasi perilaku predator dan peran pemerintah
Di Indonesia, pemerintah mengatur transportasi online melalui Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub) Nomor 348 Tahun 2019 dalam bentuk batas bawah dan atas tarif, tetapi sayangnya, praktik promo berlebihan malah luput dari kedua peraturan ini, padahal praktik ini yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Idealnya, tarif batas bawah yang ditetapkan Kepmenhub menjadi acuan tarif yang sehat dalam industri transportasi online.
Pemerintah perlu mencegah praktik predatory pricing dan menjaga persaingan usaha di industri ekonomi digital tetap sehat dengan berkaca pada praktik yang sudah terjadi di negara tetangga, seperti Singapura dan Filipina. Selain itu, persaingan usaha dengan tujuan winner takes all atau pemusatan kekuatan ekonomi tidak sesuai dengan asas demokrasi ekonomi dalam UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai pengawas persaingan usaha perlu lebih aktif melakukan surveillance terhadap praktik jual rugi dan memberikan advokasi kepada instansi pengawas dalam pembentukan kebijakan yang mendorong persaingan usaha yang sehat.
Pemerintah juga perlu mengkaji ulang Permenhub No 12/2019 untuk memastikan bahwa praktik jual rugi berbalut promosi tidak terus berlanjut. Ini akan menjadi preseden bagi instansi pengawas sektoral lain karena praktik promosi jual rugi bisa terjadi di industri lain yang modalnya juga didukung oleh private equity raksasa seperti industri e-commerce atau e-money.
Permenhub perlu menegaskan bahwa promosi yang dilakukan operator transportasi berbasis aplikasi dan/atau pihak-pihak terkait dengan operator tersebut dapat dilakukan dengan mengacu pada tarif batas bawah, tetapi dibatasi kuantitas dan jangka waktunya sehingga tetap merupakan praktik ekonomi pasar yang wajar dan bukan praktik jual rugi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar