Apa sebenarnya "dosa" paling besar perekonomian kita? Ekonom terkemuka Universitas California Berkeley, Barry Eichengreen memopulerkan istilah "dosa asal" dalam ekonomi, yaitu ketidakmampuan sebuah negara membiayai pembangunan dengan mata uang sendiri meskipun lewat penerbitan utang di dalam negeri. Dengan kata lain, perekonomian sangat tergantung pada pembiayaan asing. Semakin tinggi proporsi pendanaan asing, maka semakin besar risikonya, yang ditandai dengan tingginya fluktuasi ekonomi akibat faktor eksternal.
Perekonomian kita termasuk dalam kategori ini. Ketergantungan kita pada pihak asing tak sebatas pembiayaan, namun juga faktor produksi lain, khususnya bahan baku. Pada 2018, kita mengalami defisit transaksi berjalan sebesar 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), terbesar sejak 2014. Perbaikan profil risiko eksternal disertai pertumbuhan domestik yang meredup, bukan serta-merta berita baik.
Melihat fakta ini, jelas sekali agenda terpenting tim ekonomi kabinet mendatang adalah memaksimalkan potensi domestik tanpa meningkatkan profil risiko eksternal. Solusinya, mengakselerasi investasi sektor produktif berorientasi ekspor serta aktivitas lain yang meningkatkan devisa. Kendati arahnya jelas, namun belantara persoalannya begitu lebat. Pertanyaannya, harus mulai dari mana? Kepiawaian tim ekonomi menjadi kunci.
Selain persoalan domestik, tantangan lain adalah dinamika global yang tak bersahabat. Ibarat pesawat, mesin domestik melemah, sedangkan tekanan angin dari depan semakin kencang dengan potensi turbulensi cukup tinggi. Tim ekonomi mendatang harus mampu menavigasi perekonomian dari tekanan global dengan mengakselerasi potensi domestik.
Memanfaatkan Peluang
Sejak pertengahan 2018, situasi global berubah drastis, dipicu ketegangan AS-China. Arus perdagangan dunia merosot, diikuti pelemahan investasi di sektor produktif, yang pada gilirannya berimbas pada pelemahan pertumbuhan ekonomi global. Harga faktor produksi, seperti mesin dan perlengkapan yang turun drastis sejak 1990-an akibat globalisasi, cenderung naik di masa depan. Dunia tak akan semudah seperti selama ini.
Perubahan geo-politik global akan menimbulkan fragmentasi dalam perdagangan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi. Bagi negara-negara ASEAN, tak seluruhnya suram, muncul juga peluang menarik relokasi industri dari China. Peran China dalam perdagangan global yang selama ini begitu dominan akan menurun di masa depan. Di sisi lain, banyak negara berkesempatan menggantikan peran yang ditinggalkan China dalam perdagangan dunia.
Sejak perang dagang, arus barang dari China ke AS turun drastis. Pada Maret 2019, impor China tinggal 15 persen saja, menjadi rekor terendah dalam 6 tahun terakhir. Penurunan barang dari China dikompensasi dengan kenaikan impor dari Meksiko, Uni Eropa, Kanada, Singapura, Jepang, dan Vietnam. Banyak perusahaan keluar dari China agar tetap bisa mengekspor ke AS tanpa kenaikan tarif. Secara geografis, Vietnam sangat diuntungkan menjadi penghubung logistik barang produksi China.
Terlepas dari faktor geografis, harus diakui, Vietnam gencar melakukan transformasi perekonomian dalam 5 tahun terakhir. Perubahan geo politik belakangan bagaikan momentum bagi Vietnam. Peranannya dalam perdagangan global meningkat, dari 0,5 persen pada 2010 menjadi 1,5 persen pada 2015. Bandingkan dengan Indonesia yang selama 20 tahun terakhir posisinya stagnan 0,5 persen.
Sebenarnya, dalam 3 tahun terakhir, kita juga banyak melakukan deregulasi dan debirokrasi melalui paket kebijakan ekonomi yang berorientasi mempermudah investasi. Namun, dampaknya belum seperti yang diharapkan. Tim kabinet mendatang punya tantangan melanjutkan paket kebijakan dengan lebih fokus pada sektor yang memberi dampak tinggi bagi peningkatan investasi domestik.
Paling tidak, ada dua hal yang bisa dilakukan segera.
Pertama, reformasi sektor ketenagakerjaan. Ada tiga aspek, yaitu upah, produktivitas dan fleksibilitas aturan. Upah minimum tenaga kerja di Indonesia 103 dollar AS-258 dollar AS per bulan, sedangkan Vietnam 120 dollar AS-173 dollar AS. Sebagai perbandingan, Thailand 276 dollar AS-295 dollar AS dan Malaysia 229 dollar AS-249 dollar AS. Dibandingkan dengan Vietnam, upah minimum kita lebih lebar rentangnya. Artinya, di beberapa daerah, upah minimum masih kompetitif dibandingkan dengan upah di Vietnam. Namun, biasanya, daerah dengan upah minimum rendah infrastrukturnya terbatas sehingga biaya logistiknya mahal.
Dilihat dari pertumbuhan produktivitasnya, Vietnam lebih agresif dengan peningkatan 5,6 persen pada 2019, sedangkan Indonesia 3,8 persen. Sementara, dari sisi regulasi, Undang-Undang Ketenagakerjaan kita dianggap salah satu yang paling kaku sehingga tidak menarik bagi investor. Agenda di bidang ketenagakerjaan cukup jelas, yaitu meningkatkan laju produktivitas dan merelaksasi aturan. Sementara, peningkatan upah minimum relatif marjinal dengan inflasi rendah.
Kedua, reformasi pajak korporasi. Di Vietnam, pajak korporasi maksimal 20 persen, sedangkan RI berkisar 25 persen. Sebagai perbandingan, Malaysia 24 persen dan Thailand 20 persen. Wacana pengurangan pajak perlu dipertimbangkan untuk diterapkan. Meski demikian, relaksasi perpajakan harus dibarengi dengan reformasi kelembagaan dan peraturan yang mendukung dunia usaha. Kita harus belajar dari kebijakan pengampunan pajak yang tindaklanjutnya tak seperti yang diharapkan.
Tim ekonomi kabinet mendatang harus merumuskan narasi kebijakan serta mencari momentum dalam menarik investasi. Laporan tiga bulanan Bank Dunia edisi Juni 2019 berjudul Oceans of Opportunity menjelaskan, potensi ekonomi domestik kita masih begitu besar, khususnya di sektor maritim. Periode 5 tahun mendatang, sektor kelautan berpotensi menjadi fokus dalam membangun daya saing industri nasional.
Sektor maritim menyimpan potensi produksi perikanan yang sangat besar, selain pariwisata yang mendatangkan devisa. Industri maritim akan menjadi keunggulan yang tak dimiliki negara lain. Meski kita kalah dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam daya saing, namun di sektor maritim kita punya sumber daya yang jauh lebih melimpah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar