Kebuntuan politik di Sudan tiga bulan setelah Omar al-Bashir lengser teratasi setelah militer dan sipil sepakat. Kini tinggal menjaga agar kesepakatan bisa dijalankan.
Tergulingnya Bashir dari kursi kepresidenan pada 11 April 2019, setelah sekitar 30 tahun berkuasa, tak membuat Sudan keluar dari krisis. Negeri di timur laut benua Afrika itu dilanda krisis politik berkepanjangan. Dalam tiga bulan terakhir, tiada hari tanpa gejolak di negeri itu. Bahkan, gejolak itu menelan korban jiwa. Tim medis oposisi menyebut lebih dari 100 orang tewas, tetapi pemerintah merilis 62 orang tewas.
Wajar rakyat Sudan bersukacita melihat kesepakatan antara militer dan pengunjuk rasa yang mewakili elemen sipil. Setelah melalui dua kali pertemuan, Jumat (5/7/2019), mereka menyepakati pembagian kewenangan dalam pemerintahan masa transisi.
Inti kesepakatan itu adalah dibentuknya Dewan Kedaulatan sebagai otoritas tertinggi, menggantikan Dewan Militer Transisi. Dewan Kedaulatan beranggotakan lima orang dari militer dan lima orang dari kalangan sipil plus satu warga sipil yang ditunjuk sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Dewan Kedaulatan akan memerintah Sudan selama sekitar tiga tahun ke depan: 21 bulan pertama dipimpin militer, dan 18 bulan berikutnya dipimpin sipil. Kesepakatan itu juga mencakup pembentukan pemerintahan teknokrat.
Selain itu, disepakati juga penyelidikan independen atas kasus kekerasan sejak 3 Juni lalu, saat sejumlah aktivis prodemokrasi tewas akibat tindakan keras militer di kamp pengunjuk rasa di Khartoum.
Kesepakatan itu disambut sukacita rakyat Sudan. Seperti diberitakan harian ini, Sabtu (6/7/2019), warga di ibu kota Khartoum turun ke jalan, bukan untuk berunjuk rasa menentang militer, melainkan merayakan kemenangan.
Warga sipil di negeri itu berhak mengklaim tercapainya kesepakatan sebagai kemenangan sebab wakil mereka masuk dalam Dewan Pemerintahan Transisi. Tanpa keterlibatan sipil, bagi warga Sudan, tidak ada artinya Bashir lengser.
Seperti dikatakan Omar Eldigair, pemimpin Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) yang memayungi kelompok oposisi, kesepakatan itu diharapkan menandai "awal era baru". Militer yang diwakili Wakil Ketua Dewan Militer Transisi Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo—populer disapa Hemeti—juga menjanjikan keterlibatan seluruh elemen politik dan gerakan yang terlibat dalam perubahan di Sudan.
Kini, tugas berat menanti Dewan Kedaulatan, yang dalam 21 bulan pertama akan dipimpin oleh militer. Tantangan terberat setelah kesepakatan ini, seperti diingatkan analis politik di Sudan, adalah memelihara sikap saling percaya di antara pihak-pihak dan pemangku kepentingan di negeri itu sehingga kesepakatan di antara mereka bisa dilaksanakan.
Setelah tercipta atmosfer saling percaya, pemerintah transisi bisa fokus menangani krisis ekonomi, yang memicu gejolak dan aksi-aksi unjuk rasa rakyat Sudan sejak pertengahan Desember 2018 hingga berujung tergulingnya Bashir.
Kompas, 8 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar