KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Seorang ibu bermain bersama anaknya disela-sela antre untuk mendapatlkan pelayanan kesehatan anaknya di Posyandu Matius 25, Pondok Karya, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (16/6/2019).

 

Keluarga berencana besar maknanya/untuk hari depan nan jaya/putra-putri yang sehat cerdas dan kuat/'kan menjadi harapan bangsa…."

Sepenggal syair lagu "Mars Keluarga Berencana" karya komponis Mochtar Embut, yang diciptakan tahun 1972, itu menyuratkan arti penting keluarga. Bukan hanya untuk masa depan dari keluarga itu sendiri, melainkan juga masa depan bangsa. Filsuf ternama China, Confusius (Khong Qiu), menyebutkan, kekuatan bangsa berasal dari integritas rumah (keluarga).

Pentingnya keluarga bagi bangsa juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

UU No 10/1992 diubah dengan UU No 52 Tahun 2019 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang antara lain menegaskan arti pentingnya keluarga berencana untuk meningkatkan kualitas penduduk. Penduduk yang berkualitas akan menjamin kualitas bangsa. Program keluarga berencana pun dirintis sejak 1957 di negeri ini.

Untuk mengingatkan arti penting keluarga, setiap 29 Juni dirayakan Hari Keluarga Nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyatakan pentingnya keluarga, dengan menetapkan Hari Keluarga Internasional setiap 15 Mei.

Deklarasi Abu Dhabi, yang pada 4 Februari lalu ditandatangani pemimpin Katolik sedunia, Paus Fransiskus, dan Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Ahmad al-Tayyeb, juga menegaskan persaudaraan dan perdamaian dunia dapat tercipta melalui pemeliharaan dalam keluarga.

Seperti diberitakan, puncak perayaan Hari Keluarga Nasional XXVI tahun ini baru dilakukan Sabtu (6/7/2019) di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dalam perayaan itu diingatkan pentingnya peran keluarga, termasuk dalam menerapkan Pancasila (Kompas, 7/7/2019).

Peran keluarga penting bagi generasi berikut dalam membangun budi pekerti, etika, norma bermasyarakat, serta memperteguh Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara. Apalagi, di Indonesia ada 714 suku bangsa, 1.100 bahasa daerah, serta berbagai agama dan kepercayaan masyarakat.

Keberagaman menjadi kekuatan Indonesia sebagai bangsa, tetapi juga bisa menjadi sumber pertikaian. Setara Institute mencatat, sepanjang 2018 terjadi 202 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini. Angka itu meningkat daripada tahun 2017, yaitu 155 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2019 diyakini konflik dalam masyarakat meningkat, di antaranya karena pemilu.

Untuk menghindari konflik dalam masyarakat, dan membangun persatuan di negeri ini, hal itu tak boleh hanya digantungkan pada pemerintah dan lembaga kemasyarakatan. Masyarakat harus berperan aktif, dan hal itu harus berangkat dari keluarga.