Hampir semua maskapai penerbangan nasional kini meningkatkan frekuensi dan destinasi penerbangannya dari dan ke Papua.
Papua memang menjadi tujuan wisata baru. Di antaranya ada Pegunungan Jayawijaya, dengan tiga puncak tertinggi yang selalu diselimuti salju. Namun, di sisi lain, topografi Papua bagian tengah yang terdiri atas rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 kilometer merupakan tantangan paling sulit bagi para pilot. Maka, Papua menjadi lokasi kecelakaan dan insiden serius penerbangan terbanyak di Indonesia.
Salah satu kecelakaan fatal versi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) adalah menabrak ketinggian atau CFIT (controlled flight into terrain). Biasanya CFIT terjadi saat pilot mengalami SDO (spatial disorientation). Disorientasi spasial bukan karena pilot tidak sehat, melainkan keliru menerjemahkan sensasi penglihatan, sensasi gerak, dan sensasi jarak yang sedang dialaminya.
Hilangnya helikopter MI-17 dengan registrasi HA-5138 milik TNI Angkatan Darat di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, Jumat (28/6/2019), menambah panjang daftar tragedi penerbangan ini.
Pada pesawat dengan kabin bertekanan (pressurized cabin) sekalipun, pilot yang berulang-ulang terpapar tekanan parsial oksigen rendah selama penerbangan berpotensi mengalami hipoksia.
Hipoksia
Topografi Papua mengingatkan kita bahwa faktor cuaca tidak serta-merta menjadi faktor dominan penyebab kecelakaan. Makin tinggi ke angkasa, makin rendah tekanan udara sehingga pilot rentan hipoksia.
Hipoksia merupakan suatu kondisi kurangnya oksigen di sel tubuh sebagai dampak dari berkurangnya jumlah oksigen yang berikatan dengan sel darah. Ini terjadi akibat penurunan tekanan udara. Efek hipoksia bisa dialami pilot mulai ketinggian 5.000 kaki.
Pada pesawat dengan kabin bertekanan (pressurized cabin) sekalipun, pilot yang berulang-ulang terpapar tekanan parsial oksigen rendah selama penerbangan berpotensi mengalami hipoksia. Pilot tidak sadar tubuhnya memberikan respons fisiologis yang tidak efisien. Koordinasi pikiran, sensasi rasa, dan gerakan menjadi kurang akurat. Terjadi perubahan proses pikir dan mental serta perubahan perilaku tidak lazim.
Sesuai kecepatan dan lama di ketinggian, respons tubuh dapat cepat berubah. Dapat merasa ingin napas panjang terus-menerus, mengantuk, bahkan rasa gembira berlebih tanpa sebab.
Mengingat rentetan tragedi kecelakaan di Papua terindikasi karena hipoksia—terlebih karena hipoksia merupakan bagian dari faktor manusia dalam ilmu kedokteran penerbangan—adalah keniscayaan untuk mengkaji dan meneliti lebih dalam.
Seorang pilot akan kehilangan fleksibilitas dalam menghadapi sebuah persoalan, berkurang kemampuan mengatasi masalah, fatigue, dan kelelahan. Semua merupakan gejala hipoksia. Namun, pilot sering mengartikan kelelahan yang dialami bukan kerena hipoksia sehingga tidak mempertimbangkan pencegahannya.
Rentang kendali jarak penerbangan dan frekuensi terbang yang makin bertambah menyebabkan pilot rentan kelelahan sehingga sangat mudah terserang hipoksia. Ia tidak menyadari ada penurunan performance dan mengalami disorientasi spasial.
Pilot dan penumpang yang sama-sama mengalami hipoksia pernah terjadi dalam pesawat yang gagal mengatur tekanan udara, yakni Boeing 737-300 Helios Airways dalam penerbangan dari Larnaca, Cyprus, menuju Athena, Yunani, pada Agustus 2005. Sebelum jatuh, pesawat terbang berputar lebih kurang tiga jam tanpa kendali karena pilot dan semua penumpang telah jatuh pingsan.
Latihan aerofisiologi
Peran pilot sangat vital dan strategis dalam aktivitas penerbangan. Tidak boleh ada kesalahan sekecil apa pun, apalagi dalam keadaan darurat. Perlu kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan.
Toleransi seseorang terhadap kondisi hipoksia sangat bervariasi. Lamanya waktu seseorang masih mampu bertindak korektif dan protektif yang tepat dalam lingkungan oksigen yang tidak memadai dapat diketahui sebelumnya. Waktu sadar efektif (time of usefull conciousness) menjadi tolok ukur yang umum digunakan untuk menilai toleransi individu terhadap hipoksia pada ketinggian.
Pemeriksaan dilakukan dengan simulasi terbang pada ketinggian tertentu dalam ruang udara bertekanan rendah (hypobaric chamber). Sayang, tes ini belum menjadi pemeriksaan rutin dalam menentukan kelaikan terbang pilot Indonesia.
Mengingat rentetan tragedi kecelakaan di Papua terindikasi karena hipoksia—terlebih karena hipoksia merupakan bagian dari faktor manusia dalam ilmu kedokteran penerbangan—adalah keniscayaan untuk mengkaji dan meneliti lebih dalam.
Indoktrinasi dan latihan aerofisiologi kesehatan penerbangan bagi seorang pilot wajib ditempuh karena akan meningkatkan profisiensinya.
Pengkajian dapat dilakukan oleh pengelola operasi penerbangan, termasuk Tentara Nasional Indonesia, bekerja sama dengan profesi dokter penerbangan dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan Indonesia (Perdospi) serta praktisi kesehatan penerbangan dalam Perhimpunan Kesehatan Penerbangan dan Antariksa (Perkespra).
Penelitian dapat mengikutsertakan para akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan.
Pendidikan dan latihan menjadi esensial bagi pilot. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan menjadi tritunggal yang esa dalam manajemen kompetensi seorang pilot. Dengan demikian, kesalahan manusia (human error) oleh seorang pilot dimaknai sebagai kesalahan yang tidak disengaja (honest mistake) sehingga bukan kategori pelanggaran.
Oleh karena itu, pilot dituntut memiliki performa keterampilan, kondisi fisik dan kejiwaan, serta airmanship yang baik. Apabila tidak diingat- ingatkan (edukasi) dan dilatih berulang-ulang (training), kemampuan mengambil keputusan melemah dan keterampilan bermanuver menurun. Indoktrinasi dan latihan aerofisiologi kesehatan penerbangan bagi seorang pilot wajib ditempuh karena akan meningkatkan profisiensinya.
DOLLY RD KAUNANG PENGAJAR PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN PENERBANGAN FKUI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar