Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 11 Juli 2019

Menunggu Kejatuhan Rezim ”Influencer” (ANDREAS MARYOTO)

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas.

Beberapa rekan yang bergerak di kehumasan menceritakan betapa ribetnya mengurus orang berpengaruh di media sosial atau influencer. Selain pengenaan harga yang semena-mena, permintaan mereka juga macam-macam, mulai dari produk, fasilitas hotel mewah, penerbangan kelas utama, hingga yang lainnya.

Para pemegang merek sepertinya tunduk begitu saja terhadap berbagai permintaan mereka. Meski demikian, mulai ada tanda-tanda kejatuhan reziminfluencer ini. Mereka tak bisa lagi leluasa bergerak.

Kisah Joe Nicchi, penjual es krim dengan menggunakan truk di Los Angeles, Amerika Serikat, menjadi viral pekan lalu dan diliput sejumlah media setelah ia menolak menggunakan infuencer yang selalu menginginkan es krim gratis sebagai penukaran unggahan-unggahan di media sosial mereka. Nicchi sangat galak dengan mengatakan, "we are the anti-influencer influencer". Ia mengunggah konten di media sosialnya dengan membuat tagar #InfluencerAreGross dan ditambahi kalimat "never give you a free ice cream in exchange for a post".

Tak dinyata, kampanye ini menyebar ke berbagai belahan dunia. Nicchi mendapat banyak simpati setelah ia melakukan "penghinaan" terhadap para influencer. Penjualan es krimnya malah meningkat pesat. Pengikut di akun Instagram-nya bertambah banyak. Liputan berbagai media di dunia menyebut ia sebagai pahlawan yang melawan "korupsi" di duniainfluencer. Ia yang merupakan seorang aktor memulai usaha bernama CVT Soft Serve sejak 2014 sebagai upaya menambal pendapatan sebagai aktor yang tak mencukupi.

REUTERS/DADO RUVIC/ILLUSTRATION/FILE PHOTO

Siluet pengguna ponsel di depan sebuah logo Instagram. Platform instagram banyak dipakai para influencer sebagai ajang untuk promosi produk.

Nicchi mengatakan, dirinya membenci tawaran dari para influencer yang selalu mengagungkan exposure(paparan) setiap kali mereka mengajak kerja sama menukar unggahan dengan es krim. Awalnya ia menerima, tetapi ketika permintaan itu meningkat, Nicchi sangat geram. Ia mengaku tidak nyaman dan pusing dengan permintaan influencer. Ia mengumpat, mereka sangat konyol! Oleh karena itu, ia malah meminta para influencermembayar dobel, untuk satu es krim yang biasanya seharga 4 dollar AS, mereka diminta membayar 8 dollar AS.‎

Tak hanya Nicchi, sejumlah perusahaan besar pun tak nyaman dengan perilaku influencer. Beberapa waktu lalu pemilik merek mengeluhkan perilaku influencer yang menggunakan mesin untuk menambah tanda suka (like) dan komentar. Mereka mengancam para influenceryang menggunakan mesin itu akan didepak dalam mempromosikan produk. Sejumlah perusahaan mengaku makin ketat memilihinfluencer.

Di dalam negeri, para pemegang merek mengeluh dengan perilaku influenceryang tak setia dengan panduan-panduan dalam mempromosikan produk, semisal pekan ini mempromosikan produk bank A, pada bulan depan sudah mempromosikan bank pesaing. Perilaku ini dinilai tak etis meski pengaturan dalam pemasaran digital ini juga belum ada.

Studi terbaru yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga di Swedia setelah mengakses 1,84 juta akun Instagram di 82 negara menemukan mayoritasinfluencer terkait dengan tindakan tidak terpuji, seperti akun palsu, membeli pengikut, tanda suka tak otentik, komen palsu, dan penggunaanbot untuk merangkul para pengikut.

GETTY IMAGES NORTH AMERICA/AFP/JUSTIN SULLIVAN

Media sosial melahirkan para influencer, di mana para pemilik merek sering memanfaatkannya untuk promosi atau memasarkan produk.

Dampaknya? Sekitar 750 juta dollar AS dari pengeluaran untuk influencer oleh para pemilik merek sebesar 1,7 miliar dollar AS terbuang percuma karena perilaku tidak terpuji dari parainfluencer. Data ini yang membuat para pemasar mulai mempertanyakan efektivitas penggunaan uang untuk pemasaran produk mereka.

Media PRWeek sampai melakukan investigasi terkait dengan perilaku tidak terpuji para influencer. Mereka menyebut perilaku ini terus terjadi dan tidak ada otoritas yang mengurusi masalah ini. Mereka mengkritik pengukuran kinerja (KPI) para pemasar yang menggunakan data analitik digital, seperti jangkauan, paparan, dan keterlihatan oleh audiens yang kadang tak memberi manfaat ke penjualan. Media ini menyarankan agar para eksekutif perusahaan mempertanyakan dampak dari uang yang telah ditaruh dalam strategi pemasaran, apakah uang itu telah diletakkan di tempat yang benar?

Fenomena ini sebenarnya telah terbaca sejak beberapa tahun lalu. Penulis Vanessa Friedman pada 10 Mei 2017 telah membuat artikel berjudul The Rise and (Maybe) Fall of Influencersdi New York Times. Dia yang mengutip salah satu pendapat telah mengingatkan, kemeriahan duniainfluencer bakal kolaps dalam 12 bulan ke depan jika orang tidak berhati-hati terhadap uang yang ditaruh di seputar merek untuk membeli promosi melalui para influencer. Migrasi dari penggunaan hanya selebritas tradisional ke selebritas media sosial telah membuat pemilik merek tergagap-gagap.

Kompas, 11 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger