Slogan Versus Aksi Nyata
Bencana lingkungan yang diberitakan harian Kompas belakangan ini sangat memprihatinkan. Dari bencana Sentani di Papua; banjir di Konawe Utara, Sultra; banjir di Wajo, Sulsel; hingga sedimentasi Danau Limboto. Semua bencana berpangkal dari perubahan daya dukung daerah tangkapan air akibat alih fungsi lahan hutan yang tidak terkendali di hulu.
Rasanya upaya penyelamatan dari bencana lingkungan seperti ini telah dilakukan puluhan tahun, termasuk di antaranya dengan penanaman berjuta pohon. Namun, hasilnya sampai sekarang belum terasa. Apakah program penanaman pohon tersebut kurang berhasil?
Sering kita lupa bahwa melestarikan lingkungan adalah tanggung jawab bersama, terutama masyarakat yang hidupnya ditopang ekosistem di lingkungan tersebut. Karena kesadaran masyarakat rendah, mereka acap abai dan menganggap bahwa pelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab pemerintah semata.
Kegiatan penanaman makadamia yang dicanangkan Menko Perekonomian di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, misalnya. Terkait peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia (Kompas, 28 Juni 2019), kalau tidak dikawal ketat kegiatan seremonial semacam ini hanya akan berhenti jadi slogan.
Masyarakat sekarang sebenarnya menginginkan aksi nyata dan hasilnya dapat dirasakan langsung. Di antaranya, dari 29.000 ha lahan kritis di daerah tangkapan air Danau Toba, perlu ditanami pohon yang memiliki fungsi hidrologis dan ekonomis sekaligus, secara masif dan besar besaran selama 10 tahun. Pohon harus dipelihara dan dirawat intensif sampai bisa hidup baik.
Selama rentang waktu tersebut apabila ada pohon yang mati, wajib hukumnya untuk disulam/diganti. Pastikan pada tahun ke-11 pohon hidup semua dan memberi manfaat ekonomis. Inilah yang disebut aksi nyata.
Kalau Presiden Joko Widodo mampu membuat proyek infrastruktur jalan tol dari ujung barat sampai timur Jawa dalam tempo lima tahun. Kenapa KLHK, pemda Sumut, dan pemda kabupaten seputar danau, tidak. Jangan sampai masyarakat Sumatera Utara mendengar ucapan "the lost paradise history" tentang Danau Toba. Semoga.
Pramono Dwi Susetyo Pensiunan KLHK, Villa Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Material SIM Habis
Saya ber-KTP Solo, tetapi domisili di Jabodetabek. Saat Lebaran lalu, saya bermaksud memperpanjang SIM. Semua birokrasi dapat dilalui dengan baik, tetapi waktu di bagian pencetakan SIM, saya diberi tahu bahwa material SIM habis. Masih menunggu ketersediaan material dalam waktu yang belum pasti.
Saya hanya bisa berpikir, berarti harus kembali ke Solo lagi. Berarti harus keluar biaya dan tenaga serta waktu lagi. Saat warga negara mau berdisiplin dan mematuhi peraturan untuk memperpanjang SIM yang habis masa berlakunya, kok, ketersediaan material tidak ada. Bukankah hampir tiap hari material SIM pasti dibutuhkan?
Apakah ini modus atau benar-benar habis? Sepertinya setiap tahun ada peristiwa berulang mengenai kehabisan material SIM ini. Mohon pejabat berwenang menindaklanjuti permasalahan ini.
Anto Manahan, Banjarsari, Solo
Rubrik Sosok
Terima kasih kepada Kompas yang sudah menghadirkan rubrik "Sosok" sejak lama. Sosok yang diangkat latar belakangnya berbeda-beda, dari pejuang lingkungan, ekonomi, hingga sosial budaya.
Dengan membaca rubrik itu pembaca jadi tahu sosok-sosok yang jauh dari "viral" dunia maya dan mengapresiasi perjuangannya hingga sukses di bidang masing-masing.
Kisah mereka menginspirasi untuk melakukan hal serupa atau di bidang lain, mulai dari lingkungan terkecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar