Baiq Nuril, mantan guru honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, terkena kasus penyebaran secara elektronik konten pornografi. Dia dijerat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberikan keterangan setelah menerima Baiq Nuril mantan tenaga honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Senin (8/7/2019). Baiq Nuril yang menjadi terpidana kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengajukam amnesti setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang dajukannya. Dalam pertemuan dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Baiq Nuril didampingi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Rieke Diah Pitaloka serta kedua kuasa hukumnya Joko Jumadi dan Widodo.

Kasus ini menjadi perbincangan di masyarakat, disebabkan sebagian orang menganggap Nuril adalah korban pelecehan seksual oleh kepala sekolah yang menjadi atasannya. Nuril dihukum ketika tahun 2012 merekam secara elektronik pelecehan tersebut. Tidak kurang dari Presiden Joko Widodo mengikuti kasus Nuril dan mengatakan akan memberikan amnesti jika Nuril meminta.

Ibu tiga anak itu mengirimkan hasil rekaman tersebut kepada seorang temannya. Hal ini yang kemudian membuat Nuril dianggap menyebarkan konten pornografi.

Kita menghormati keputusan yang diambil hakim Mahkamah Agung (MA), lembaga peradilan tertinggi, dan keputusan para hakimnya tentu melalui pertimbangan masak.

Meski demikian, kita juga wajib memberikan tempat kepada warga negara yang ingin mencari keadilan. Kita menghargai keinginan Nuril mengajukan amnesti kepada Presiden sebagai upaya mencari keadilan lebih substantif.

Ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam kasus Baiq Nuril. Pertama-tama, kasusnya sebagai korban pelecehan seksual. Pengadilan Negeri Mataram membebaskan dia dari tuduhan menyebarkan konten pornografi. Namun, MA mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa dan menghukum Nuril enam bulan kurungan dan denda Rp 500 juta. Nuril mengajukan peninjauan kembali, tetapi juga ditolak MA.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Baiq Nuril, mantan tenaga honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, memberikan keterangan saat berada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Senin (8/7/2019). Baiq Nuril yang menjadi terpidana kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengajukam amnesti setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang dajukannya. Dalam pertemuan dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Baiq Nuril didampingi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Rieke Diah Pitaloka serta kedua kuasa hukumnya Joko Jumadi dan Widodo.

Sebagian anggota masyarakat melihat, dugaan pelecehan seksual yang menyebabkan Nuril merekam percakapan dengan kepala sekolah tidak pernah diperiksa. Juga teman Nuril yang menyebarkan rekaman itu tidak dituntut.

Oleh karena situasi tersebut, masyarakat melihat hukuman untuk Nuril bias jender dan bias kelas. Selain perempuan, Nuril adalah guru honorer. Di sini terjadi ketimpangan relasi kuasa berlapis di masyarakat kita yang masih bersifat patriarkhis. Bias tersebut juga tecermin pada sebagian aturan hukum kita.

Hal penting lain dari kasus Baiq Nuril adalah tentang peran hukum bukan sekadar teknologi, melainkan alat menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, seperti pernah dikemukakan almarhum Prof Dr Satjipto Rahardjo tentang progresivisme hukum. Masyarakat berharap banyak kepada penegak hukum untuk tidak melihat hukum hanya secara legal-formal.

Kita juga perlu meninjau kembali Undang-Undang ITE yang telah menyebabkan lebih dari 350 orang tersangkut kasus hukum. Sebagian kalangan merasa hukuman yang dijatuhkan belum memenuhi rasa keadilan karena persoalan mendasarnya tidak tersentuh, seperti pada kasus Baiq Nuril.