Perundingan damai intra-Afghanistan, antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban, merupakan terobosan penting untuk masa depan negara itu.
Konflik berdarah antara kelompok Taliban dan Pemerintah Afghanistan sudah berlangsung selama 18 tahun. Terobosan terjadi awal pekan ini ketika kedua pihak bersedia melakukan perundingan damai di Doha, Qatar, yang difasilitasi Jerman dan Qatar.
Pertemuan itu menjadi penting karena sejak awal Taliban yang memiliki sekitar 60.000 kombatan hanya mau melakukan negosiasi dengan Pemerintah Afghanistan jika pasukan Amerika Serikat yang berjumlah 14.000 orang hengkang dari Afghanistan. Sebaliknya, Pemerintah Afghanistan menginginkan negosiasi terjadi di bawah pengawasan AS.
Pertemuan ini diawali oleh Washington yang terlebih dulu melakukan negosiasi dengan Taliban, akhir Juni lalu. Pada intinya kedua pihak menyepakati kerangka awal: AS akan menyusun jadwal penarikan mundur pasukannya, sementara Taliban harus menjamin tidak akan membiarkan kelompok teroris internasional beroperasi di Afghanistan. Seperti diketahui, saat ini kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) menguasai wilayah pegunungan di utara Afghanistan yang berbatasan dengan Pakistan.
Sampai titik itu pertemuan AS-Taliban ditangguhkan dan akan dilanjutkan setelah perundingan Pemerintah Afghanistan-Taliban berlangsung selama dua hari. Pertemuan tersebut diliputi ketegangan dan suasana yang emosional. Hampir semua peserta dalam perundingan itu memiliki keluarga dan kerabat yang tewas serta menyalahkan pihak yang diajak berunding.
Ketegangan, misalnya, terjadi ketika isu tentang siapa yang berhak menginterpretasikan hukum Islam muncul dalam perundingan. Di zaman kekuasaan Taliban, hampir semua hak mendasar perempuan dicabut, termasuk hak bekerja, memperoleh pendidikan, bahkan hak untuk keluar rumah.
Pertemuan dua hari itu menghasilkan deklarasi bersama yang tidak bersifat mengikat, tetapi cukup untuk membawa kedua pihak melanjutkan ke tahap berikutnya.
Poin penting yang disepakati dalam deklarasi itu di antaranya melindungi institusi publik, seperti sekolah dan rumah sakit; melindungi hak mendasar perempuan untuk bekerja dan memperoleh pendidikan (meski Taliban tetap meminta hal itu dalam koridor hukum Islam); serta membangun rasa saling percaya, antara lain dengan membebaskan tahanan yang sudah tua, sakit, dan penyandang disabilitas.
Ironisnya, saat perundingan berlangsung, saling serang dan pengeboman tetap terjadi. Pengeboman pada Senin lalu oleh Taliban menewaskan 14 orang dan melukai sedikitnya 170 orang, sebagian adalah anak-anak sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar