Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya, Selasa, 9 Juli 2019, melepaskan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Putusan kasasi MA itu jauh berbeda dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis 13 tahun penjara dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, yang menaikkan hukuman menjadi 15 tahun penjara. Pengadilan pertama dan pengadilan banding berpendapat tindakan Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai tindak korupsi.

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, memberikan keterangan setelah membacakan amar putusan kasasi yang diajukan terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung di Kompleks Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (9/7/2019). Mahkamah Agung mengabulkan kasasi tersebut dan membebaskan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung dari tuntutan hukum.

Putusan MA itu tidak bulat. Tiga hakim mempunyai pandangan berbeda (dissenting opinion). Situasi ini juga baru pertama kalinya terjadi dalam peradilan korupsi. Ketua majelis hakim Salman Luthan menguatkan putusan pengadilan tinggi. Sementara dua hakim anggota, yakni Syamsul Rakan Chaniago berpendapat perbuatan Syafruddin masuk kategori perdata dan hakim Mohammad Askin memandang perbuatan terdakwa masuk hukum administrasi. Hakim-hakim itu berasal dari nonkarier.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkejut dengan putusan itu. Syafruddin bebas. Namun, apa pun putusan MA haruslah dihormati. Perbedaan pandangan di antara tiga hakim tersebut menandakan bangunan konstruksi hukum kasus itu belumlah solid. Antara hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi? Antara keputusan politik menyelesaikan sengkarut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah melalui MPR dan analisis hukum tindak korupsi? Eksaminasi putusan bisa saja dilakukan untuk menambah khazanah pengetahuan hukum.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung meninggalkan Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Senin (09/7/2019) malam. Syafruddin bebas setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukannya.

Dalam kasus Syafruddin, KPK melakukan strategi membangun kasus (case building) peristiwa yang terjadi tahun 2004. Strategi membangun kasus berbeda dengan operasi tangkap tangan. Dalam kasus Syafruddin, strategi membangun kasus gagal di MA dan terdakwa dibebaskan.

Strategi membangun kasus untuk dikonstruksikan menjadi tindak pidana korupsi, terlebih dalam tenggang waktu yang begitu lama, membutuhkan soliditas alat bukti dan argumentasi hukum yang kuat agar semuanya diterima hakim. Dalam kasus Syafruddin, bangunan kasus yang dikonstruksikan KPK dinilai berbeda oleh dua hakim agung. Tindakan Syafruddin terbukti ada, tetapi menurut dua hakim agung itu masuk ranah hukum perdata atau hukum administrasi.

Kita berharap putusan kasasi MA tidak menggerus modal sosial KPK. Namun, KPK harus lebih berhati-hati membangun kasus lama. Harus ada keyakinan dan bukti yang kuat. Perang melawan korupsi memang belum berhasil dimenangi bangsa ini. Jika MA memutuskan ada kerugian negara, tetapi bukan korupsi, upaya hukum mengembalikan kerugian negara harus tetap dilakukan. Bisa melalui jalan peradilan pidana atau perdata. KPK bisa bekerja sama dengan penegak hukum lain menagih kekurangan bayar, jika itu ada.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI