Rencana pengenaan pajak digital menjadi sorotan beberapa bulan terakhir, sejalan dengan meningkat- nya tantangan menggali potensi dari ekonomi digital di era digital.
Untuk Indonesia, kebutuhan mendesak guna memaksimalkan pajak dari ekonomi digital, selain dilandasi oleh potensi yang sangat besar dan terus bertumbuh dari pajak digital yang selama ini tak terpungut, kebutuhan yang sangat besar akan ekspansi fiskal, juga dilandasi tuntutan aspek keadilan karena selama ini banyak pelaku digital yang lolos.
Bagi sebagian kalangan, konsep pajak digital masih memunculkan kebingungan, bahkan disikapi dengan waswas. Bisa dipahami karena ini relatif barang baru, bukan hanya untuk Indonesia, melainkan juga negara-negara lain.
G-20 sendiri belum tuntas menyusun aturan hukum perpajakan internasional terkait norma dan standar pemajakan sektor ekonomi digital, terutama yang bisa menjamin pemajakan yang adil antarnegara di era digital, termasuk mencegah upaya penghindaran pajak oleh raksasa digital yang mengeruk keuntungan masif dari aktivitas ekonomi mereka di banyak negara, seperti Google dan Facebook.
Keseriusan kita mengoptimalkan penerimaan pajak dari ekonomi digital, antara lain, ditunjukkan oleh upaya reformasi perpajakan, termasuk menyiapkan aturan, restrukturisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menyesuaikan dengan tuntutan rezim pemajakan era digital, dan menjadikan penanganan transaksi ekonomi digital proyek unggulan DJP.
Ini penting, mengingat selama ini Indonesia tak banyak memetik keuntungan dari tumbuh pesatnya sektor ekonomi digital yang, antara lain, tecermin dari pengguna internet yang mencapai 150 juta orang pada 2018 dan diproyeksikan 175 juta pada 2022. Selain itu, pertumbuhan pesat e-dagang, dengan nilai transaksi diperkirakan mencapai 22,6 miliar dollar AS pada 2022, dari 8,6 miliar dollar AS saat ini, sejalan dengan migrasi model ekonomi konvensional ke digital.
Kendala yang dihadapi otoritas perpajakan untuk merumuskan skema perpajakan digital selama ini di antaranya terkait obyek pajak, siapa yang berhak memungut pajak, selain kompleksitas struktur ekonomi digital itu sendiri. Sebagian kendala berhasil diatasi. G-20, misalnya, sudah menyiapkan kebijakan pengenaan pajak usaha digital tanpa syarat kehadiran fisik perusahaan berupa bentuk usaha tetap (BUT).
Menkeu Sri Mulyani termasuk yang dengan tegas mengatakan pemerintah akan memungut pajak terhadap perusahaan layanan digital yang memperoleh penghasilan di Indonesia, dengan atau tanpa BUT. Selama ini, BUT menjadi syarat untuk bisa ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Kita mengapresiasi kemajuan yang dibuat DJP dalam pendekatan dengan sejumlah raksasa digital, seperti Google. Hal ini diharapkan juga dilanjutkan dengan raksasa digital lain.
Era digital menjadi tantangan bagi otoritas pajak dalam upaya ekstensifikasi, pengawasan, dan pemeriksaan pajak. Perbaikan administrasi pajak, aturan hukum, aturan perundang-undangan, pemanfaatan teknologi informasi, dan perbaikan pengelolaan basis data perpajakan jadi keniscayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar