AP PHOTO/EBRAHIM NOROOZI

Pejabat Iran (dari kiri ke kanan), jubir badan atom Iran Behrouz Kamalvandi, jubir Pemerintah Iran Ali Rabiei, dan Wakil Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi, menyampaikan pernyataan dalam konferensi pers di Teheran, Iran, Minggu (7/7/2019). Araghchi mengatakan, Iran tetap menganggap kesepakatan nuklir 2015 sebagai dokumen sah dan ingin terus melanjutkan kesepakatan itu.

Di tengah meningkatnya tensi di Timur Tengah terkait isu nuklir Iran, adakah ruang penyelesaian melalui dialog, bukan konfrontasi? Jika ada, bagaimana caranya?

Pertanyaan itu muncul setelah melihat tanda-tanda ketegangan di Timur Tengah terkait Kesepakatan Nuklir Iran 2015 terus meningkat. Minggu (7/7/2019), Pemerintah Iran mengumumkan pengayaan uranium ke level lebih tinggi, melampaui batas 3,67 persen yang ditetapkan dalam Kesepakatan Nuklir 2015. Sepekan sebelumnya, Teheran mengumumkan telah menambah stok uranium, melebihi batas 300 kilogram yang diatur dalam kesepakatan tersebut.

Iran tahu dan sadar bahwa dua langkah itu melanggar Kesepakatan Nuklir 2015. Langkah tersebut sengaja dilakukan setelah Iran tidak melihat keseriusan Eropa (Inggris, Jerman, dan Perancis) sebagai pihak penanda tangan kesepakatan— selain Rusia dan China—untuk membantu negaranya dari tekanan ekonomi AS.

Seperti diketahui, kesepakatan nuklir Iran dibuat oleh Iran dan lima negara pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB (AS, China, Inggris, Rusia, dan Perancis) plus Jerman pada 14 Juli 2015. Sesuai kesepakatan itu, Iran harus menghentikan program senjata nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi yang dijatuhkan Barat selama bertahun-tahun. AS di bawah pemerintahan Donald Trump keluar dari kesepakatan itu pada 8 Mei 2018, sekaligus secara unilateral mengumumkan kembali jatuhnya sanksi ekonomi terhadap Iran.

Sanksi AS itu memukul ekonomi Iran. Iran antara lain tak bisa menjual minyak dan gas, yang selama ini menjadi sumber utama pendapatan negaranya. Akibat sanksi tersebut, menurut perkiraan The Economist, inflasi 2019 di Iran akan menembus 50 persen, dan produk domestik bruto merosot 6 persen. Di tengah kesulitan ekonomi, lewat tindakan pengayaan uranium yang melanggar kesepakatan, Teheran menuntut keadilan: adakah imbalan bagi Iran dari tekanan ekonomi akibat sanksi AS.

Eropa sebenarnya menyiapkan mekanisme khusus—bernama Instex—untuk menyiasati sanksi AS agar Iran tetap bisa berdagang dengan dunia luar. Namun, mekanisme itu belum berjalan. Di tengah penantian itu, situasi di lapangan mengarah pada eskalasi ketegangan, seperti serangan atas tanker di Teluk Persia, penembakan pesawat nirawak di Selat Hormuz, dan penahanan tanker Iran di Gibraltar.

Ketegangan itu nyaris berbuah konflik terbuka, bulan lalu, saat Trump memerintahkan serangan udara terhadap Iran, yang dibatalkan beberapa menit sebelum serangan dilaksanakan. Dengan tensi yang cenderung meningkat, kesalahpahaman bisa berujung perang. Hanya dialog—bukan konfrontasi—yang bisa mencegah perang.