Saat PM Inggris Boris Johnson terpilih, rakyat Inggris bersiap mengantisipasi langkah-langkah yang impulsif dan berani. Namun, tak ada yang menyangka Johnson akan mengambil tindakan yang "nekat" dengan menskors parlemen selama lima pekan, sampai 14 Oktober, atau hanya dua pekan menjelang tenggat Brexit.

Tindakan Johnson itu didasari kekhawatirannya bahwa parlemen akan menolak rencana pemerintah membawa Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan pada 31 Oktober. Johnson menunda pidato Ratu Elizabeth II untuk membuka masa sidang dari awal Oktober menjadi 14 Oktober. Pidato Ratu di pembukaan masa sidang secara umum akan menjelaskan pokok-pokok acara di parlemen. Ratu yang berada pada posisi apolitis telah menerima permintaan pemerintah.

Kemungkinan apa yang akan terjadi? Di antaranya adalah krisis konstitusional dan "perang" antara legislatif dan eksekutif. Bagi parlemen, ini merupakan penghinaan terhadap demokrasi dan belum pernah terjadi di era sejarah modern.

Uji materi terhadap langkah Johnson sudah diajukan ke mahkamah konstitusi oleh perwakilan masyarakat. Di parlemen, oposisi yang dipimpin Partai Buruh telah menyusun agenda mosi tidak percaya pada pemerintah. Di Skotlandia, pemimpin Konservatif, Ruth Davidson, mengundurkan diri dan keputusan Johnson digugat ke pengadilan. Di akar rumput, warga Inggris menyiapkan aksi protes.

Namun, Johnson bergeming. Kubunya menegaskan, seandainya mosi tidak percaya berhasil dilakukan, ia akan menolak mundur. Seperti masih kurang cukup untuk memanaskan situasi, Presiden AS Donald Trump justru mengapresiasi "langkah berani" yang dilakukan Johnson.

Uni Eropa masih bersikap hati-hati dalam bereaksi terhadap langkah Johnson, dengan menegaskan bahwa kepentingan warga UE di Irlandia menjadi prioritas. Satu hal yang konsisten dipegang oleh Brussels adalah mereka tidak bersedia menegosiasikan kembali backstop Irlandia Utara kecuali Inggris mengajukan proposal yang lebih baik. UE juga menutup kemungkinan Kesepakatan Brexit yang sudah ditandatangani pada November 2018 dibuka kembali.

Apakah Inggris siap menghadapi disrupsi akibat Brexit tanpa kesepakatan? Pekan lalu Bank Sentral Inggris mengingatkan, perekonomian Inggris kemungkinan tidak siap jika terjadi Brexit tanpa kesepakatan. Pertumbuhan investasi, nilai mata uang, tingkat inflasi, dan arus perdagangan akan terdampak, khususnya dalam hal hambatan tarif, bea cukai, pasokan, dan lainnya.