Dalam berbagai ungkapan tentang almarhum Presiden BJ Habibie selalu diangkat mengenai kepakarannya di bidang teknologi dirgantara serta prestasinya sebagai Bapak Demokrasi yang telah membawa Indonesia ke gerbang demokrasi. Namun, suatu kenyataan yang luput dari perhatian adalah jasa Habibie yang melahirkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
Dengan melahirkan Komnas Perempuan, Habibie telah merealisasikan tuntutan sekaligus mimpi perempuan Indonesia agar bisa hidup di tengah keluarga dan berkarya di tengah masyarakat yang sedang membangun tanpa mengalami diskriminasi.
Diskriminasi terhadap perempuan sering kali mengarah pada tindak kekerasan seperti dialami oleh para perempuan Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998. Dibentuknya Komnas Perempuan dipicu oleh ketidakpuasan berbagai kelompok perempuan yang kecewa terhadap absennya respons pemerintah terhadap berbagai tindak kekerasan seksual sistematik terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998. Bahkan, melalui berbagai pernyataan resmi, para pejabat pemerintah justru menyangkal terjadinya insiden tersebut.
Namun, suatu kenyataan yang luput dari perhatian adalah jasa Habibie yang melahirkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
Pengabaian dan penyangkalan pemerintah tentang tindak kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998 mendorong sejumlah aktivis perempuan dari berbagai usia, latar belakang pendidikan, profesi, dan organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan meminta bertemu langsung dengan Presiden BJ Habibie guna menyampaikan tuntutan mereka kepada pemerintah.
Para perempuan ini menuntut agar pemerintah mengutuk kerusuhan yang terjadi dan meminta maaf kepada para korban kerusuhan, menolong dan merehabilitasi korban dan menindak tegas para pelakunya. Tuntutan dituangkan dalam sebuah pernyataan yang ditandatangani sekitar 4.000 individu.
Presiden BJ Habibie bersedia menemui 22 perempuan yang mewakili Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di kantornya di Bina Graha pada 15 Juli 1998. Pertemuan diawali pemaparan secara rinci kasus-kasus perkosaan yang dialami para perempuan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 serta intimidasi yang dihadapi pekerja kemanusiaan yang berupaya menolong para perempuan korban perkosaan. Selama pemaparan tak sekalipun Habibie memotong penjelasan dan dengan sabar mendengarkan seluruh pemaparan yang terkadang diselingi tuduhan ke pemerintah.
Selama pemaparan tak sekalipun Habibie memotong penjelasan dan dengan sabar mendengarkan seluruh pemaparan yang terkadang diselingi tuduhan ke pemerintah.
Pada awalnya respons awal Habibie bersifat formal berdasarkan data resmi pemerintah, yang langsung ditolak oleh para perempuan yang hadir sehingga pertemuan menjadi tegang. Namun, pada dialog selanjutnya, Habibie menemukan kesamaan data yang disampaikan aktivis perempuan yang telah membantu korban, dengan data pribadi yang diperolehnya dari salah seorang anggota keluarganya yang berprofesi dokter.
Kesamaan data dan pengalaman ini mendorong Habibie berganti sikap dan mengajak aktivis perempuan menyusun suatu pernyataan presiden tentang kerusuhan Mei 1998 dan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa. Presiden bergerak cepat dan bersama para aktivis perempuan menyusun pernyataan yang mengutuk tindak kekerasan seksual pada Mei 1998 dan janji pemerintah menyelidiki dan melindungi korban.
Kesamaan data dan pengalaman ini mendorong Habibie berganti sikap dan mengajak aktivis perempuan menyusun suatu pernyataan presiden tentang kerusuhan Mei 1998 dan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa.
Keberpihakan nyata
Setelah pertemuan, Presiden meminta rekomendasi kepada Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan tentang tindak lanjut pertemuan dan pernyataan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998. Rekomendasi yang diberikan kepada Presiden ialah pembentukan suatu komisi nasional yang khusus bekerja untuk menegakkan dan melindungi hak-hak perempuan di Indonesia.
Sesudah melalui proses negosiasi panjang mengenai nama komisi, independensi, persyaratan seleksi dan keanggotaan serta mandat, akhirnya Presiden menandatangani Keputusan Presiden No 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Komnas ini merupakan mekanisme nasional pasca-Orde Baru yang pertama di Indonesia untuk menyikapi berbagai jenis pelanggaran HAM perempuan.
Dalam istilah psikologi, Habibie tergolong seorang pendengar aktif, yang berarti bersedia mendengarkan pendapat atau informasi dari orang lain tanpa menempatkan diri sebagai pihak yang lebih tahu.
Bagi perempuan, secara global ataupun nasional, kekerasan terhadap perempuan di rumah, di lingkup pekerjaan ataupun di masyarakat pada umumnya merupakan kenyataan hidup. Dengan adanya Komnas Perempuan tak berarti kekerasan terhadap perempuan telah hilang dalam kehidupan bersama di Indonesia. Akan tetapi, yang terjadi, kekerasan terhadap perempuan "bukan lagi sesuatu yang ada, tetapi dianggap tidak ada" (karena tak mau atau tak boleh dinyatakan). Adanya Komnas Perempuan telah memungkinkan korban melaporkan kekerasan yang dialaminya sekaligus memperoleh bantuan untuk mengatasinya.
Komnas ini merupakan mekanisme nasional pasca-Orde Baru yang pertama di Indonesia untuk menyikapi berbagai jenis pelanggaran HAM perempuan.
Kebijakan Presiden BJ Habibie membentuk Komnas Perempuan menunjukkan keberpihakan nyata seorang presiden terhadap masalah khusus yang dihadapi anggota masyarakat yang berjenis kelamin perempuan. Terima kasih Pak Habibie. Selamat jalan Pak Habibie.
(Saparinah Sadli, Mantan Ketua Komnas Perempuan (1998-2001))
Kompas, 23 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar