Presiden Joko Widodo mengambil sikap berbeda soal revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dalam revisi UU KPK, Presiden Jokowi "merestui" pembahasan revisi UU KPK secara terbatas. Namun, di saat-saat akhir pengesahan RKUHP, Presiden Jokowi dalam jumpa pers di Istana Bogor, Jumat, 20 September 2019, justru meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menunda pengesahan RKUHP. Pengesahan RKUHP tidak perlu dilakukan DPR periode 2014-2019 yang akan habis masa kerjanya pada 30 September 2019.
Revisi UU KPK memang dilakukan terbatas. Namun, substansi revisi UU KPK melebar dan berpotensi menyulitkan kinerja KPK. Di bawah UU KPK yang baru, "penguasa" baru KPK adalah Dewan Pengawas yang untuk pertama kalinya ditunjuk Presiden. Kompleksitas persoalan kelembagaan menjadi masalah tersendiri di KPK. Kritik keras masyarakat sipil terhadap Presiden Jokowi meluncur saat Presiden mengirimkan surat presiden soal pembahasan revisi UU KPK.
Baik revisi UU KPK maupun RKUHP sama-sama mendapat penolakan keras masyarakat. Sejumlah pasal dalam RKUHP berpotensi menghambat kebebasan sipil, kebebasan berpendapat, dan cenderung memperkuat otoritas negara. Dalam RKUHP, negara dianggap terlalu jauh masuk ke wilayah privat.
Khusus soal korupsi, pasal soal korupsi di RKUHP itu justru memperingan hukuman koruptor. Memperingan hukuman bagi koruptor jelas bertentangan dengan sikap Presiden Jokowi yang menganggap korupsi adalah musuh bangsa ini.
Sikap Presiden Jokowi yang meminta penundaan pengesahan RKUHP patut diapresiasi. Masukan publik didengar. Namun, tetaplah menjadi pertanyaan, mengapa penolakan publik soal revisi UU KPK yang sama kerasnya tidak sepenuhnya didengar Presiden Jokowi.
Menunda pengesahan RKUHP tidaklah menimbulkan kekosongan hukum. KUHP peninggalan kolonial masih merupakan hukum positif. Kita menangkap semangat bangsa untuk segera membuat KUHP nasional yang rancangannya sudah disiapkan 46 tahun lalu. Kita menyarankan agar DPR membuka akses seluas mungkin kepada publik agar mereka merasa dilibatkan. Karena itulah, tidak harus ada prinsip now or never dalam pembahasan RKUHP.
Kita mendorong DPR mengesahkan undang-undang soal "pewarisan" pembahasan RKUHP yang belum selesai kepada DPR periode 2019-2024. RKUHP tidak perlu lagi dibahas dari awal. RKUHP harus jadi prioritas untuk diselesaikan oleh DPR 2019-2024 dengan mengubah paradigma berpikir soal hukum pidana. Waktu pembahasan dan pengesahan janganlah diagendakan di ujung masa jabatan. Bangsa ini membutuhkan KUHP karya bangsa. Namun, substansi KUHP haruslah disesuaikan dengan semangat demokrasi dan tidak mengekang kebebasan sipil. Bukalah ruang publik seluas mungkin agar publik terlibat dalam pembahasan RKUHP yang begitu strategis dan penting. Kepentingan rakyat haruslah diutamakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar