KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Para penyintas, Sabtu (28/9/2019), mengunjungi bekas rumahnya di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, yang masih porak poranda akibat likuefaksi yang dipicu oleh gempa, tepat setahun yang lalu. Peristiwa tersebut menyebabkan 3.124 orang tewas, 705 orang hilang, 1.016 orang tanpa identitas dikubur massal.

Membaca berita di harian ini, Sabtu (28/9/2019), tentang lambatnya program pemulihan pascagempa di Sulawesi Tengah membuat kita bertanya.

Apakah yang membuat kita sedemikian rigid, kaku, sehingga untuk menolong korban bencana alam yang semestinya segera, belum nyata setelah setahun berlalu. Sekadar mengingatkan kembali, gempa bumi dan tsunami melanda Kota Palu serta Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, Sulteng. Bencana ini merenggut 3.124 jiwa, 705 orang lainnya hilang, dan 1.016 korban tanpa identitas dimakamkan massal. Jumlah rumah rusak tercatat 110.214 unit.

Dari sisi ilmiah, gempa di Sulteng juga mengangkat wacana likuefaksi, yakni terangkatnya cairan di lapisan bawah kerak bumi ke atas sehingga menyebabkan permukaan di wilayah itu bak bubur lumpur yang mengisap benda lain, termasuk manusia dan bangunan, sehingga lenyap dari pemandangan. Peristiwa itu di satu sisi menimbulkan kesan mengerikan.

Likuefaksi memperkaya khazanah kajian ilmiah tentang efek gempa bumi, peristiwa alam mencari keseimbangan baru, tetapi dengan efek bagi manusia yang bisa sangat dahsyat.

Literasi rakyat Indonesia tentang risiko hidup di lingkungan Cincin Api kini meningkat, khususnya semenjak terjadi gempa dan tsunami hebat di Aceh pada 26 Desember 2004 dan gempa di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Ketika bertransformasi menjadi masyarakat berbasis pengetahuan, wajar jika mereka berharap birokrasi juga bergerak ke arah dan dengan irama sama.

Menjadi mengecewakan jika ternyata setelah setahun gempa Sulteng berlalu, sejumlah program prioritas penanganan bencana belum terlaksana.

Pemenuhan hak penyintas, seperti penyaluran dana stimulans, perbaikan rumah, dan jaminan hidup tunai, molor sembilan bulan dari jadwal awal tahun 2019. Hal sama juga untuk pembangunan irigasi dan pembangunan hunian tetap.

Presiden Joko Widodo memutuskan, rehabilitasi dan rekonstruksi Sulteng berakhir tahun 2020. Tekad yang baik ini tentu patut kita kawal demi pulihnya kehidupan normal saudara kita di sana. Kedua, sebagai pembuktian, kita sudah belajar dari peristiwa bencana tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini kita garis bawahi karena kita telah bertekad untuk merespons bencana secara lebih sigap. Saat bencana, kita tak hanya bisa meminimalkan korban melalui pelbagai aktivitas mitigasi yang dilakukan, tetapi lebih dari itu, kita juga semakin sigap secara birokratis.

Termasuk, mengalokasikan dana penanggulangan dan mencairkannya dengan cepat. Pendanaan penanggulangan saat ini bertumpu pada APBN karena APBD tak mencukupi. Mungkin hal ini baik untuk kita renungkan kembali mengingat bencana umumnya terjadi di daerah.