Perdebatan sengit terjadi antara pemerintah, partai politik, kelompok-kelompok pendukung pemerintah, gerakan masyarakat sipil termasuk akademia, serta media massa luring dan daring. Sebagai sebuah fenomena, ini adalah momen pendidikan politik rakyat.

Parlemen yang selama lima tahun ini dikritik tidak produktif menghasilkan legislasi sebagai bangunan dan tatanan hidup berbangsa bernegara, dalam sebulan terakhir masa jabatannya terlihat kejar tayang menyelesaikan begitu banyak rancangan legislasi.

Publik memprotes fakta bahwa sebagian rancangan tersebut diproses tanpa kajian yang berimbang dan komprehensif, kurang melibatkan, untuk tidak menyebut dengan mengabaikan, pihak-pihak yang berkepentingan, dan tergopoh-gopoh sehingga banyak pasalnya menimbulkan kontroversi.

KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas menyerahkan laporan hasil pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kepada Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam rapat paripurna DPR ke-9 Masa Sidang Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019). Dalam rapat itu, DPR bersama Pemerintah setuju rancangan UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Masyarakat menyaksikan secara gamblang akrobat parlemen tersebut dan memahaminya sebagai pemenuhan hasrat partai politik melalui mekanisme demokrasi yang ada. Agaknya, para politisi di parlemen ini tidak lebih dari pekerja politik. Yang konon berjuang untuk kepentingan rakyat, nyatanya justru bekerja untuk kepentingan dirinya dan partai politik.

Sebagai pekerja politik, mereka memperhitungkan investasi dalam kampanye dan keuntungan yang akan mereka peroleh. Mereka memanfaatkan dan pada saat yang sama mengkhianati janji-janjinya kepada rakyat.

Di saat-saat demikian, sosok para negarawan melintas di kesadaran kolektif kita.

Masyarakat mendambakan Bung Karno, yang mampu membangun visi bangsa yang berdaulat dan jaya, bersatu di tengah keberagaman bangsa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga berjalan melintasi sebuah lukisan wajah Bung Hatta di Candi Persil, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (23/8/2019). Berbagai cara dilakukan warga mengenang kepahlawanan dan menjaga nasionalime mereka dengan medium seni rupa.

Masyarakat mendambakan Bung Hatta, yang sama sekali tak memikirkan keuntungan ekonomi personal, selaras dengan gagasan besarnya tentang ekonomi yang adil sosial.

Masyarakat mendambakan Gus Dur, yang tak kenal lelah memperjuangkan demokrasi hakiki di atas prinsip kesetaraan warga negara, tak hanya memikirkan kepentingan Nahdlatul Ulama, organisasi besar yang dipimpinnya.

Masyarakat mendambakan Jenderal Soedirman, yang dalam kondisi sakit dan harus ditandu pun masih memimpin tentara Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Masyarakat mendambakan para ulama dalam BPUPKI, yang mengikhlaskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi cita-cita persatuan Nusantara.

Apa yang membuat mereka layak disebut sebagai negarawan? Walaupun area juang mereka beragam, dalam diri semua tokoh tersebut muncul beberapa karakteristik yang sama.

KOMPAS/ RIZA FATHONI

Warga melintas di depan spanduk yang mengutip pernyataan Mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di kawasan Duren Sawit, Jakarta, Minggu (10/8/2014). Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa yang memberi tempat lebih layak bagi kaum minoritas di Indonesia.

Yang pertama adalah komitmen kebangsaan, yang membuat mereka bertindak demi keutuhan negara. Yang kedua adalah komitmen perjuangan untuk kemaslahatan masyarakat, yang tecermin dalam kebijakan yang adil bagi seluruh rakyat. Nilai keadilan serta kongruensi antara pemikiran dan tindakan menjadi ciri karakter yang menjiwai kedua komitmen tersebut.

Walhasil, rakyat benar-benar dapat melihat dan merasakan integritas pribadi sang negarawan, juga iktikad untuk mewujudkan kemaslahatan, jauh dari sikap dan tindakan manipulasi, eksploitasi dan pengkhianatan terhadap komitmen kerakyatan. Menjadi negarawan adalah tentang pengabdian, bukan pekerjaan. Potret negarawan tersebut melekat kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat (collective consciousness) dan menjadi tolok ukur mereka untuk menilai para politisi.

Di tengah situasi Indonesia yang kewalahan menghadapi berbagai tantangan yang memberikan dampak cukup besar dalam kehidupan kita, seperti geopolitik dan pertarungan raksasa ekonomi dunia, pemberantasan korupsi, kontestasi ideologi yang menimbulkan kebencian antarkelompok, serta indeks pembangunan manusia yang masih belum memuaskan, kita sangat membutuhkan figur negarawan.

KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

egara Presiden Soekarno menjadi salah satu tokoh nasional sekaligus ikon dalam mewujudkan kemandirian Bangsa Indonesia. Pesan-pesan Soekarno mengenai kemandirian bangsa tersebar dalam berbagai media, buku, dan juga mural, seperti yang terlihat di Jalan Kawi-kawi Bawah, Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2014).

Ironisnya, sistem politik yang berlangsung di Tanah Air adalah sistem yang menghasilkan pekerja politik. Sulit mengharapkan lahirnya negarawan-negarawan dalam sistem politik yang seperti ini. Jika pun ada, terpinggirkan di dalam partai politiknya atau dalam parlemen.

Dalam kata-kata Winston Churchill: the difference between a politician and statesman is that a politician thinks about the next election, while the statesman thinks about the next generation—beda politisi dengan negarawan: politisi berpikir sampai pemilu berikutnya, sedangkan negarawan memikirkan generasi masa depan bangsanya.

Maka, kejutan ontran-ontran beberapa waktu terakhir yang telah menyadarkan masyarakat akan ketidakhadiran negarawan di tengah mereka membuahkan kerinduan. Indonesia surplus politisi, miskin negarawan, kata Buya Syafii Maarif.